Rumput Liar

Jumat, 04 November 2016

Mematahkan Disengagement Theory


Mbah Uti, Saya dan Mbah Kakung

Selesai Ta'lim, saya langsung tancap gas ke ndalem simbah untuk melakukan permintaan Mbah Uti, menemani belanja ke pasar. Karena moment ini adalah first time, saya sampai bertanya pada salah satu santri putri yang biasa mbonceng Mbah Uti ke pasar. Terutama untuk rute yang nyaman. Bukannya tidak bisa, tapi khawatir saya melakukan tindakan yang kurang nyaman. Ibu Saya sering menepuk pundak saya saat menyetir motor. Mungkin dulu saya keterlaluan :).
Belum juga bertemu dengan simbah, pikiran saya lari pada pertanyaan bagaimana perjalanan pulangnya ini. "Ora usah naik motor. Bareng Yazid wae. Mengko angel le nggowo barang akeh," aah lega rasanya. Mbah Uti selalu pengerten. Pak Yazid salah satu putra Mbah Uti yang tinggal tepat di depan rumah simbah. Kali ini memang akan belanja besar untuk acara ahad kliwon besok.

Mobil kami berhenti di belakang pasar Piyungan. Ini agar lebih mudah bolak balik menyimpan barang di mobil. Saya dan simbah memasuki pintu paling ujung pasar. Disini kami disambut oleh ibu-ibu penjual Pisang. Saya yang masih belum fasih berbahasa jawa Jogja hanya diam memperhatikan. Maklum saja jawa Cirebon sangat jauh berbeda dengan bahasa disini. 

Mata saya beredar keseluruh sudut pasar. Ini bukan pertama kalinya saya kesini. Sudah terbiasa berhadapan dengan penghuni pasar yang mayoritas ibu-ibu ini. Setelah saya perhatikan, dari penjual kerupuk di ujung kiri hingga penjual pisang diujung kanan adalah ibu-ibu Lansia. Mereka masih terlihat lihai dalam tawar menawar. Kondisi fisik mereka sudah mendeskripsikan usianya. Tapi saya tidak melihat hambatan mereka saat berintraksi dengan para pembeli. Begitupun dengan Mbah Uti yang masih ingat letak-letak penjual ini dan itu. Tubuhnya masih sigap dalam melakukan banyak aktifitas. Namun namanya Lansia, pasti mengalami beberapa penurunan kondisi fisik. Beliau pernah bercerita tentang penurunan daya tahan tubuhnya.

Memperhatikan mereka mengingatkan saya dengan beberapa teori yang pernah didiskusikan di mata kuliah Lansia dan Disabilitas semester 4 lalu. Seperti ketika saya membatah Disengagement Theory yang dipresentasikan oleh kelompok lain, Lansia dapat diberdayakan. Saat itu, saya juga memaparkan tentang aktivitas Mbah Kakung yang masih aktif berdakwah di masyarakat dan mengajar santri-santri disini. Bahkan saya harus berkali-kali minta maaf atas kesalahan saya karena masalah miskomunikasi yang terjadi. "Kita itu belajar tidak hanya di sekolah atau di kampus. Tapi juga diulang kahanan," Artinya terkadang kita belajar dari lingkungan sekitar. Begitulah Simbah selalu bijak dalam mengahadapi anak-anak disini.

Disengagement Theory cenderung memarginalkan Lansia. Seolah-olah melihat dengan satu mata yang terfokus dengan satu hal. Teori tersebut mendeskripsikan bahwa ketika seseorang pada tahap lansia, ia akan memisahkan diri dengan dunia sosial. Karena itulah lahir konsep pensiun. Melihat aktifitas ibu-ibu lansia di pasar dan kedua simbah tercinta saya ini, saya mengakui adanya fakta dari Activity Theory. Aktifitas yang dilakukan lansia berperan penting terhadap kondisi fisik dan psikologis lansia. Teori tersebut juga menjelaskan bahwa konsep diri yang baik akan lahir jika lansia beraktifitas di dunia sosial.

Masih banyak hal yang ingin saya tulis disini. Ah tapi waktu tak mengijinkan. Saya tidak yakin selepas duhur hingga ahad sore memiliki waktu menulis.

Bantul 05 November 2016

Saya sedang presentasi dengan menggunakan bahasa Inggris

Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa yang paling saya suka. Suka mempraktikkan dan belajar tentang bahasanya. Tapi ternyata, modal suka saja tidak cukup untuk dapat menguasai bahasa yang bukan lagi menjadi bahasa asing di Indonesia ini. Ketika saya SD kelas 3, saya dikenalkan dengan Bahasa Inggris. Seperti anak-anak pada umumnya, tau arti I love You, Remember me, dan lain sebagainya, itu saja sudah bangga. Yup, karena saat itu Bhasa Inggris dianggap sesuatu barang yang aneh. Selum terbiasa. Sekarang? Wah jamannya sudah berbeda. Update status facebook saja memakai bahasa inggris. Walaupun sebenernya copas. Duh.
Saya tidak tau mengapa sampai saat ini saya selalu kesulitan dalam berbahasa Inggris. Entah itu tulisan maupun lisan. Aku seperti mewajibkan diriku untuk mampu berbahasa Inggris. Cap, Cip, Cus.. Aaah kapaaan ya................


Yogyakarta
04 Oktober 2016