Rumput Liar

Kamis, 03 Mei 2018

Milad PLD yang ke 11

Sesi seminar nasional

Rabu, 02 Mei 2018 saya beserta keluarga besar Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga merayakan hari jadi PLD yang ke 11. Bagi saya sendiri, ini momen yang mengharukan. Jangan tanya berapa tahun, saya bergabung di dalamnya. Karena menjadi bagian dari PLD adalah suatu keberuntungan yang tidak direncanakan. Saya pribadi, belum banyak memberikan kontribusi untuk PLD.

Acara berlansung lebih dari sekedar meriah. Sebab menjadi panitia dadakan dengan ‘kegupuhannya’ menjadi amat berarti. Maklum ini momen semacam reuni dimana para dosen relawan PLD, difabel, orangtua difabel, serta para relawan dapat saling menyapa. Sebab tak banyak kesempatan seperti ini. Saya pribadi masih asing dengan beberapa orangtua dari mahasiswa difabel yang baru.
Ada beberapa hal yang sangat membekas di memori saya mengenai hari itu. Pada awal sesi, sesuai jadwal puncak lomba debat berlangsung. Ya ini adalah lomba yang diselenggarakan PLD untuk umum. Sebelumnya sudah berlangsung dan puncaknya adalah hari itu. Jangan tanya soal bagaimana acara ini ya. Karena saya masih wara – wiri di lobi. hehe. Selesai dengan lomba debat, lalu dimulailah upacara Milad PLD dengan rentetan pernak – perniknya. Seperti potong tumpeng, foto bersama para pendiri PLD dan lain sebagainya.

Acara diselingi dengan pentas teatrikal mahasiswa Tuli (ini penyebutan suatu komunitas dengan difabel rungu. Ingat ya, T nya besar). Mereka mementaskan puisi yang menekankan pada hak berpartisipasi dalam dunia sosial. Mereka melakukan gerakan bahasa isyarat lalu ada seorang relawan yang membaca puisi sebagai interpretasi dari gerakan teman – teman Tuli. Momen seperti ini selalu mengharukan. Di awal upacara Milad, mereka juga turut dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya serta himne UIN dengan menggunakan bahasa isyarat. Ah rasanya syahdu sekali melihat pemandangan ini. Momen langka. hehe

Tibalah pada acara yang dinanti. Yaitu seminar nasional dengan tema “Hak pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas mental”. Ada 2 pembicara, yaitu ibu Ro’fah sebagai salah satu pendiri PLD dan ibu Yeni Rosa Damayanti. Sesi ini dipandu oleh ibu Andayani, pendiri PLD yang juga pengampu mata kuliah kesehatan mental di kelas saya dulu. Berbicara tentang penyandang disabilitas mental, pikiran saya langsung berlari ke berbagai isu yang sering dibahas dalam kelas kesehatan mental. Seperti stigma negatif, pengucilan, dan selalu berdampingan dengan pengertian ‘orang gila’.

Ibu Yeni memaparkan dengan sangat detail mengenai siapa penyandang disabilitas mental dan apa yang menjadi problem penyandang disabilitas mental di perguruan tinggi. Penyandang disabilitas mental bukanlah suatu hal yang baru. Menurut penelitian, 1% dari suatu tempat kapan pun dan dimanapun terdapat penyandang disabilitas mental. “Kalau di UIN ini ada sekitar tiga ribu mahasiswa maka hitung saja berapa satu persen darinya. Tapi sebagian besar mereka tidak melaporkan karena stigma negatif itu tadi,” ucap ibu Yeni.

Ada berbagai macam penyandang disabilitas mental, seperti depresi, kecemasan berlebihan, skizofrenia, bipolar dan lain sebagainya yang berhubungan dengan keadaan dimana seseorang tidak bisa mengendalikan diri. Informasi mengenai hal itu dapat ditemukan dengan berselancar di internet. Membahas mengenai hal itu tidak ada habisnya. hehe.Garis besarnya hal itu akan menghambat keberlangsungan proses belajar di perkuliahan.

Menurut undang – undang no 8  tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, mereka yang mengalami gangguan mental berhak mendapatkan pendidikan di semua lini atau jurusan. Lembaga pendidikan juga wajib memberikan akomodasi yang layak untuk mereka. Pada poin ini, saya baru mengerti mengenai perbedaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Lebih mudahnya, saya menangkap bahwa aksesibilitas adalah kemudahan yang diberikan ada atau tidak ada penyandang disabilitas ia akan tetap ada. Contohnya ramp atau jalan landai. Ia akan tetap ada meskipun tidak ada penyandang disabilitas yang menggunakannya. Seperti halnya lift dan guiding block ­(jalan timbul untuk tuna netra).  Sifatnya umum, siapa saja bisa menikmatinya.

Sedangkan akomodasi yang layak bersifat perindividu dan diberikan jika diminta. Misalnya perpanjangan waktu untuk mengerjakan ujian, ruangan relaks saat penyandang disabilitas mengalami relaps atau kambuh dan akomodasi lainnya. “Akomodasi ini tidak membutuhkan uang. Hanya hal – hal sederhana yang membatu mereka dalam proses belajar,”ungkapnya lagi.

Ibu Ro’fah memaparkan tentang penyandang disabilitas mental yang beliau temui di kampus ini. PLD memang belum terlalu jauh dalam menangani penyandang disabilitas mental. Ya lagi – lagi disebabkan mereka yang mengalami hal tersebut memilih diam. Ada beberapa yang melaporkan dan meminta bantuan kepada pihak PLD. “Kami di PLD, berusaha untuk mengkomunikasikan hal ini dengan pihak terkait,” tutur ibu Ro’fah.

Ibu Ro’fah juga menceritakan tentang kasus yang dialami penyandang disabilitas mental. “Saat hendak berangkat ke kampus, dia diantar oleh orangtuanya karena jarak yang cukup jauh. Dia tidak bisa terlambat maka orangtua sudah terburu – buru di dalam perjalanan. Kemudian sampai di kampus, dia mengalami relaps dan tidak bisa mengikuti kuliah,”
Padas sesi tanya jawab, saya bertanya mengenai pengalaman ibu Yeni dalam mengahadapi penyandang disabilitas mental. Adakah mereka yang sembuh? Apa yang bisa kita lakukan saat penyandang disabilitas mental mengalami gangguan dan mengalami puncak dimana dia ingin bunuh diri? Jawaban untuk pertanyaan pertama sangat  menarik.

“Makna sembuh itu seperti apa sih? Apakah dia yang mengalami skizofrenia tidak akan mendapatkan bisikan lagi? Kondisi penyandang disabilitas mental itu selalu naik turun. Pada saat relaps ya kita hadapi. Biarkan dia mengalami hal itu. Lalu akan turun lagi. Biasa lagi,” jawab beliau.

Saya menangkap ekspresi wajah yang sangat tenang dan ringan disitu. Beliau juga menekankan bahwa relaps adalah kondisi yang wajar. Di sela – sela pemaparannya beliau menjelaskan bahwa adik kandungnya mengalami gangguan skizofrenia. Yaitu kondisi dimana seseorang mendapat bisikan – bisikan negatif dalam kurun waktu yang terus menerus. Kemudian bu Ro’fah memberikan jawaban yang kedua bahwa pada kondisi fatal seperti itu kita tidak bisa bertindak sendirian. Artinya kita membutuhkan tim ahli untuk menangani hal tersebut.

Ada banyak hal yang menurut kita sepele tapi sangat berarti untuk mereka yang mengalami gangguan mental. Seperti mendengarkan keluh kesah, memberikan ruang untuk bercerita dan sekedar menjalin komunikasi yang baik. Hal itu sudah sangat membantu kondisi mereka agar lebih baik. “Memang pengobatan secara medis itu diperlukan tetapi tidak cukup sampai disitu. Karena obat hanyalah bagian kecil saja. Selebihnya lingkungan sosial sangat mempengaruhi penyandang disabilitas mental,”

Satu hal lain yang menarik adalah ungkapan dari ibu Yeni bahwa sudut pandang keluarga mengenai penyadang disabilitas mental sangat mempengaruhi bagaimana mereka memandang dunianya. “Saat sudut pandang keluarga berbeda maka sudut pandang dia pun akan berubah,” pungkasnya.


Selamat Milad PLD.

Kamis, 08 Maret 2018

Sugeng tindak Pak Yai, kami dan bumipun turut menangis



Info resmi dari Al Munawwir


Senin, 05 Maret 2018

Sore itu, bumi menangis. Kabar duka dari kerabat di Krapyak menyebar begitu cepat di media sosial. Kami saling bertanya, benarkah kabar duka itu? Sedang belum ada kabar resmi dari Pondok Al Munawwir.  Pukul 17.00 hari itu aku mendapat kabar dari teman komplek Q, kabar itu benar.
Aku yang saat itu dalam kondisi sakit, batinku benar-benar lemas. Romo Kyai Abdul Hafidz AQM benar-benar sampun kapundut. Aku menangis. Terakhir kali aku mendengar kabar beliau masih dirawat di rumah sakit Sardjito.

Selasa, 06 Maret 2018

Ba’da shubuh, Abah dan Umi di pondokku memberi penghormatan terkahir kepada Pak Yai Hafidz dengan mensholati beliau di Aula G. Aku ingin turut serta tapi kondisiku benar-benar lemah. Aku berniat untuk ikut ke pemakaman beliau siang nanti.
Sekitar pukul 13.20 aku bersiap-siap berangkat ke Krapyak. Masih sedikit pening di kepala. Tapi aku ingin hadir. Seperti keinginanku saat berada di rumah sakit Sardjito untuk menjenguk beliau. Tapi tak terlaksana dan menyisakan penyesalan semata. Kali ini saja aku ingin benar-benar memberi penghormatan kepada beliau, Pak Yai yang baru ku kenal beberapa waktu belakangan ini.

Siang itu cuaca begitu panas. Anehnya sampai di lingkungan Krapyak, langit disana mendung gelap gulita. Aku bersama temanku dari komplek Q menuju Huffad , mengikuti acara doa bersama sebagai penghormatan terakhir pada beliau. Lalu hujan turun amat deras. Batinku menangis begitu juga bumi dan langit ini. Aku mengikuti doa bersama dan tak bergeming di posisi pinggiran rumah tak jauh dari Huffad. Sedih karena tak bisa melihat Pak Yai di pesareannya. Semoga suatu saat bisa menziarahinnya.

Sugeng tindak Pak Yai Hafidz,
Doakan kami agar mampu menjalankan ijazah-ijazah dari panjenengan.



Yogyakarta, 08 Maret 2018.
Faroha  




Tulisan tangan almaghfurlah Pak Yai Abdul Hafidz

Sabtu, 23 Desember 2017

Maiyahan ke 7 : Jalan berbeda menuju Tuhan




Adanya foto ini e,,hehe

Bukan masalah mau tidak mau menuliskan segala isi tentang roso di majlis tersebut. Tapi segala hal itu tak mampu diurai dalam hampaan luas ini. Semua sudah tertata rapi dalam notesku. Lalu apa yang harus ku tulis? Ya mungkin hanya deskripsiku tentang atmosfer yang ada di sana.

Hujan dari nopember belum juga surut. Masih sering ikut ber-maiyah denganku. Wal hasil basah – basahan lah. Di tengah hujan aku melihat seorang ibu dan suaminya berdiri tidak jauh dari tempatku duduk. Tak sampai hati aku melihatnya. Aku meminta mas-mas di sampingku untuk memanggil beliau duduk di sampingku. Alhamdulillah dapat mengenal sedulur maiyah lagi. Beliau datang dari Magelang. Masih area perbatasan dengan jogja. “Biasanya saya bawa anak – anak mbak. Tapi sekarang lagi liburan di tempat simbahnya. Untung ga bawa mereka. Cuacanya kaya gini, kasian nanti,” ucapnya disusul cerita tentang dua anaknya itu.

Ini kali pertama kali aku berbincang dengan sedulur Maiyah dari kalangan orangtua, terlebih seorang ibu. Alhamdulillah. Majlis Maiyah masih terus berjalan kendati hujan kadang menyapa dengan senyumnya. Para jamaah saling merapatkan diri agar para sedulur yang lain dapat kumanan tempat.
Menginjak jam 9 baru mulai tadarus Al Qur’an. Setengah jam berlalu kemudian para pegiat mengambil alih sebagai para pembuka. Lalu dilanjutkan dengan Mas Sabrang yang mengawali diskusi. aaah seneng aku seneng banget. Serius. Apalagi mbak Via juga ikut hadir. Mungkin beliau ngancani tamu pada diskusi kali ini yaitu bu Ade dan Bu Dini.

Tema pembahasannya kali ini adalah tentang Islam di Perth dari pengalaman Bu Ade serta mengenai air susu ibu (ASI) yang dipaparkan oleh bu Dini. Ia adalah seorang dokter. Pembahasanya yang pertama tentang kisah cinta bu Ade dengan Tuhannya. Para jama’ah dibuat terpukau dengan pengalamannya yang berkali – kali mengislamkan orang lain. Lika-liku perjalanan beliau juga turut serta dibubuhi dalam pemikirannya. Ada satu garis yang sangat jelas. “saya memakai logika dan hati dalam menghadapi hidup,” ucapnya.

Ya, hal ini segaris dengan satu kunci yang saya pegang. Setiap orang memiliki jalan masing – masing untuk menuju Tuhannya. Karena itu tak perlu judge baik buruk orang lain atau merasa jalannya paling benar.

Pembahasan tentang ASI dimulai dari hasil penelitian yang melihat bahwa 10 ibu menyusui hanya 3 diantaranya yang mau menyusui bayinya. Hal tersebut terjadi di Indonesia. Krisis ASI. Pikiranku melayang pada sebuah artikel yang membicarakan susu formula yang tidak memiliki nilai gizi sedikitpun untuk bayi. Ah beruntungnya seorang ibu yang melahirkan secara normal dan menyusui dengan sepenuh hatinya. Titik kesempurnaan perempuan adalah pada saat ia melahirkan dan menyusui. Hal kodrati yang ada pada perempuan. MasyaAllah.

Pembahasan lain sudah aku tulisankan di dalam notes dibawah ini. Entahlah aku enggan menuliskan apa – apa yang sudah jelas tertulis disitu. Bedanya maiyahan kali ini adalah status resmi dan formalku sebagai ‘pencari ilmu’ di tempat dimana biasa aku menginap.
Bantul, 23 Des 2017.



Bulek Tari, yang menjelma menjadi teman sekamarku.















Mas Sabrang

Senin, 04 Desember 2017

Ngawiji



Lihat di belakang, ada penari Sufi.

di depan jamaah laki2, lalu ada satir membagi 2 kubu.

Penari Sufi uakeh banget..

Ngaji di pondok Maulana Rumi

Jum’at, 1 Desember 2017 adalah hari paling nekadku. Nekad untuk tak peduli dengan tatapan kecewa mereka. Aku mengikuti fatwa hatiku (mungkin). Adzan maghrib menjadi teman perjalananku menuju Krapyak. Aku masih bertanya – tanya.
“Tuhan ini nafsu atau kah fatwa hatiku?” Entahlah.
Semuanya serba mendadak. Itu salah satu hal yang selalu aku hindari. Tapi mau gimana lagi. Pulang dari Klaten jam 16.00 sampai rumah. Mandi shalat makan dsb. Ada pesan masuk, mengajak untuk ngaji di Pondok Maulana Rumi, Bantul.  Sebenarnya prediksiku tidak bisa ikut. Ora ono kancane. Si embak yang biasa temen ngaji maiyahan lagi pulkam ke Grobogan. Toh juga weekend ini rencana sowan ke pondok Patuk. Ternyataaa, batal lah pahingan di sana. Aku memilih yang bukan rutinan, ngaji di pondok asuhan Cak Kuswaidi ini.
Salah satu alasan yang memberatkanku adalah kehadiran Kyai Budi Harjono dari Semarang. Sudah sejak lama aku ingin kepanggih dengan sosok yang menyihirku dengan rajutan kata-kata beliau. Aku mengenalnya di majlis Maiyah bersama Mbah Nun. Membahas tentang Cinta. Begitupun juga di majlis ini.
Ada banyak sekali pembahasan yang di urai dalam majlis ini. Selain Cak Kus dan Kyai Budi, sebelumnya juga sudah ada paparan dari Pak Kyai Edi Ah Iyubenu. Salah satu penulis di Mojok. Aku banyak mengambil pelajaran dari beliau. Seperti tentang kehidupan ini. Semula bermula dari hati kita. Apapun yang terjadi bergantung pada kondisi hati kita. Contoh misalkan kita sedang mengendarai sepeda motor. Lalu ada orang lain yang memotong jalan kita. Kemudian orang itu terjatuh. Kalau hati kita kurang baik mungkin akan menyalahkan dia. Tapi jika kita punya perasaan welas asih tentu kita akan menolong. “Karena itu PR kita adalah ngawiji dengan gusti Allah,” tutur pak Edi.
Beliau juga membagi kisah tentang temannya yang seorang pengusaha sukses. Sayangnya dia tidak bisa percaya dengan orang lain. Hingga pada suatu haru mengalami strouke dan akibat dari hal itu adalah lupa. Ia lupa  terhadap masa yang sudah ia jalani selama menjadi pengusaha. Sehingga ia tidak tau berapa banyak kekayaan yang ia miliki. “Apa yang sudah dilakukan dengan susah payah, sirna begitu saja dengan satu penyakit. Maka fokuskan kehidupan yang baik hari ini,” ungkapnya.
Kyai Budi memaparkan dominasi makna Cinta. Beberapa kali beliau membacakan baris – bari milik Rumi. Seperti berikut ini: “Ya Allah kebenaran belum kati temukan. Maka dengan menari salahkah aku yang berkelana demi Kau. Di lembahmu kami berkeliling dan karenanya bumi kami iramakan,”
Berbicara tentang cinta adalah sesuatu yang amat dahsyat. Yang menggendong lara untuk pelayanan sejati pada sang empu maha cinta. Kyai Budi menjelaskan pula tentang bagaimana cinta dalam konteks yang lebih luas. “Kata Allah, aku dikenal melalui cinta. Kalau sampel lihatlah singa tidak memakan anaknya,” tutur Kyai Budi.
Cak Kus lebih banyak memberi pengantar pada awal acara. Sedangkan aku datang lumayan terlambat. Jadi tak sempat menampung paparan belaiu. Usai Kyai Budi ngendiko, Cak Kus mengambil alih dengan membaca kitab karangan Rumi, kitab masnawi. Lalu mejelaskan dengan puisi – puisi beliau.
Majlis Cak Kus berbeda dengan majlis maiyahan yang diasuh Cak Nun. Perbedaan tersebut bukan untuk dipertentangkan mana yang baik dan lebih baik. Keduanya memilih jalan yang berbeda dalam ngayomi anak – anak dan masyarakat. Tapi aku mencari benang merah yang sama yaitu bertemu pada tujuan yang sama yaitu memahami diri untuk meneguk Cinta Allah dan Rasulullah. Refleksi dari hal tersebut terlihat dari perkembangan para jamaah yang menemukan Cintanya.

Wirobrajan, 4 Desember 2017
*Ini sedikit catatan saat berlangsungnya ngaji,

 
 





Jumat, 24 November 2017

Maiyahan ke 6: Kekuatan Batin

Mbah Nun beserta jejeran struktur pemerintah desa Bangunharjo


Selama Maiyahan, aku selalu pulang ke tempat embak di desa Pandes, Panggungharjo Bantul. Maiyahan kali ini di desa sebelah, Bangunharjo. Sekitar 10 menit sudah sampai majlis. Seperti biasa berangkat dengan Mbak Tari, partner maiyahan. Jam 20.00 sudah sampai majlis dan belum ada tanda – tanda acara akan dimulai. Hanya rekaman suara Mbah Nun yang mengiri jamaah yang berlalu lalang mencari tempat lungguh.

Baru sekitar pukul 21.00 Mbah Nun dan kiai kanjeng hadir di majlis setalah sebelumnya para perangkat desa mengisi prosesi pembukaan. Dibuka dengan istighfar dan shalawatan, suasana menjadi amat syahdu sekali. Aku pribadi,  sangat suka dengan momen seperti ini. Seperti ada gemuruh yang merontokkan diri yang kotor ini.

Mbah Nun menjelaskan tentang makna jawa dan islam. Orang jawa tetaplah menjadi jawa dengan nilai – nilai islam yang dibawa oleh Rasulullah. Bukan menjadi Arab. Kemudian penjelasan melebar ke pada kondisi sosial saat ini. Klitih salah satunya. Mbah Nun mengajak para jamaah untuk berdiskusi masalah ini. Beberapa jamah memberikan komentar. Salah satu dari mereka mengatakan begini “Klitih itu karena mereka para pemuda yang jauh dari cahaya ilahiyah. Makannya harus disuruh ikut maiyahan,” gelak tawa menyabung.

Mbah Nun ngendiko mengenai konsep sebab akibat. Melihat klitih dari sisi akibat. Bahwa ada yang tidak beres dan menyebabkan terjadinya klitih. Klitih dari beberapa sumber yang pernah aku baca adalah aktivitas seseorang di malam hari untuk mencari makanan di angkringan atau di wilayah setempat. Namun berubah makna pada saat ini. Klitih diidentikan dengan tindakan kriminal yang dilakukan oleh para remaja SMP atau SMA yang dilakukan di jalan. Analisis yang dipakai Mbah Nun adalah penyebab dari tindakan kriminal tersebut. “Tak usah meminta negara untuk ikut memberesi hal ini. Kita koreksi diri kita dulu dalam mendidik anak,” ujar Mbah Nun.

Mendidik anak menurut Mbah Nun adalah bergantung pada batin orangtua kepada anaknya. Karena yang mendidik anak adalah Allah maka didorong dengan doa dan batin orangtuanya. Beliau juga menyampaikan kondisi anak jaman sekarang yang memaksa orangtuanya untuk membelikan sepeda motor padahal belum waktunya. Diskusi tentang klitih ditutup Mbah Nun dengan statmen pola pendidikan anak.

Hingga tengah malam suasana semakin gayeng saja dengan diwarnai tingkah mas Doni dan mas Jijit saat mengajak anggota lain memperlihatkan permainan jaman dulu. Suara gelak tawa terus membanjiri majlis ini. Sekitar pukul 1 malam acara ditutup mbah Nun. Kami mulai mencari barisan untuk mencium tangan sang guru. Bseperti biasa suara lantunan doa menyerbak dari Mbah Nun setelah sebelumnya dipimpin doa oleh mas Islami.
Alhamdulillah, bisa hadir di majlis ini.

Wirobrajan, 24 November 2017.

permainan mbuh ora reti njenenge
Aku dan Mbak Tari



                


                


Rabu, 22 November 2017

Maiyahan ke 5: Titik Kesempurnaan


Kesempatan langka bisa foto kayak gini, haha

Ya Allah ya mannanu ya kariim
Ya Allah ya rohmmanu ya rokhim
Ya Allah ya fattakhu ya khalim
Ya Allah ya rohmanu ya rokhim

Ya Allah dzakirna mimma nasina
Ya Allah ‘allimna ma jahilna
Dunyaa majnuunun wa nas malnguunun
Hunaka jahilun hunna majhulun

Innaka syafiuna min khoufi ‘adzabillah
wa anta roja’unaa lidhaf’i jaamiil balwaa
Ya tohaa khabibunaa fi aydika nasibuna
Anta yasin nasibuna tusallimu khayatana

Butira air langit menyerbu  bumi Yogyakarta sejak sore. Posisiku di kampus hendak ke Amplaz bertemu denga teman dari Jakarta. Baru setelah maghrib pamit, shalat maghrib dan otw Pandes. Jangan bertanya soal macet. Jalan solo beserta hingga area kota selalu padat dengan kendaraan apalagi ditambah jam pulang beserta dibumbui hujan. Wah nikmat suasana malam jogja kali ini bisa ku teguk mesra. Entah jadi maiyahan atau tidak yang jelas aku tetap bertandang ke tempat Mbak Tari.
Beruntungnya, saat menginjak jam maiyahan hujan tidak terlalu deras. Mungkin memahami niat baik kami yang hendak mengadu dan nyuwun ilmu kepada sang empunya jagat raya ini. Sampai di majlis, kami mendengar suara simbah guru, kami kaget.
“Wah wis munggah to,” kami saling melempar tanya. Padahal jam 20.00 belum genap melingkar di jam tanganku.

Pertanyaan kami terjawab saat sampai di dalam majliis area panggung. Belum ada siapapun di atas panggung. Suara itu hanya rekaman. Kami lungguh di samping kanan kamera. Selang beberapa saat salah satu pegiat maiyah munggah dan memimpin membacakan surat Yusuf.

Suasana semakin ramai. Pelungguhan kami memang basah, merembas dari bawah, barangkali itu sisa – sisa hujan sore tadi. Usai ngaji, panggung diisi oleh band indie membawakan beberapa lagu. Baru setelah itu kiai kanjeng mengambil alih. Membuka acara dengan mengajak bershalawat. Kami berdiri. Beberapa lampu dimatikan. Intro lagu itu membisikiku tentang lagu tersebut. “Embaaak, aku suka. Suka banget. Ini favoritku, sohibul baiti,” bisikku tapi lumayan keras dengan nada riang.

Ya lagu shohibul baiti selalu membawa kesyahduan tersendiri. Aku menutup mata. Menelanjangi diri dari urusan dunia untuk menyatu dengan sang empunya diri. Sangat syahdu. Selesai dengan itu kami lungguh dan mulai belajar dzikiran. Teks lengkapnya sudah ku tulis di awal tulisan ini.
Pada dasarnya aku tak pernah percaya dengan kebetulan. Tapi sungguh dzikir di awal ini adalah salah satu yang ku cari. Aku pernah mendengarnya dari Kiai Budi Harjono Semarang di video. Alhamdulillah pas sekali.  Cukup lama jamaah maiyah diajak dzikir dan menghafal isi dzikir tersebut. Baru sekitar jam setengah 12an, mbah Nun munggah bersama tamu dan beberpa sesepuh maiyah. “Saya mau tanya dulu, gimana posisi tempat dudukmu? Aman?,” mbah Nun bertanya.

Sebagian jamaah menjawab aman sebagian lainnya menjawab banjir. Mbah Nun ngendiko tentang kesempurnaan. Bahwa manusia memili kesempurnaannya masing – masing. Contoh angka 5, kesempurnaan angka 5 ya 5. Buka 4 atau 6. “Maka hidup itu memang harus sempurna. Sempurnanya setiap orang berbeda – beda. Pass dengan presisinya sendri. Disinilah letak gunanya ilmu. Ilmu adalah alat untuk mencari passnya yang diinginkan Allah,” terang mbah Nun.

Kemudian disusul dengan berbagai nasehat dan butiran – butiran hikmah mengenai berbagai persoalan. Otakku ini barangkali memang bebal sehingga hanya beberapa hal yang nyresep ning ati. Tapi ini saja sudah alhamdulillah dapat ku pahami. hehe

Malam ini selain ada Kyai Muzammil, ada juga tamu, seorang peneliti. Lupa engga tak tulis namanya. Duh. Beliau meneliti tentang sejarah dan kekayaan bumi yang menurut asumsinya ada banyak hal yang disembunyikan sejarah. Setiap yang angker pasti ada sesuatu yang disembunyikan di dalamnya. Menariknya kyai Muzammil mengaitkan hal ini dengan apa yang dialaminya. Beliau bertemu dengan guru cak Nun, Umbu Landu Paringgi. Umbu menyampaikan rencananya untuk mempertemukan cak Nun dengan salah satu ahli yang mengetahui tentang kekayaan Indonesia pada 27 mei mendatang. Namun belum juga dipertemukan orang tersebut sudah meninggal. “Allah memberikan kunci rahasia kekayaan bumi kepada Rasulullah. Tapi kanjeng nabi tidak memberi tahu kunci – kunci tersebut. Karena khawatir akan terjadi perpecahan hanya karena harta. Jangan – jangan Allah memanggil orang yang mengetahui  rahasia ini karena alasan hal ini pula” ungkap kyai Muzammil.

Di tengah  acara, gerimis mulai menyapa kembali. Kenapa kau menghindar dari rintik – rintik hujan, seadngkan Allah memberikan rizki di setiap butirnya. “Dadi nek udan ojo do lungo. Tetep lungguh di tempat,” ucap mbah Nun sambil dibarengi tawa.

Tamu yang lain adalah Pak Eko, seorang dokter. Beliau menangani kanker dan sedang mencoba pengetahun mengenai pengobatan berbasis individu. Intinya adalah setiap orang dapat kembali sehat dengan penyembuhan yang berbeda – beda. Walaupum gejala yang diderita sama. Selain itu juga dibahas mengenai makna puasa dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Puasa tidak hanya menahan makan dan minum tapi juga menahan dari makanan atau dzat yang membahayakan tubuh. “Dari sinilah terlihat puasa dapat menyembuhkan berbagai penyakit karena berpuasa dari dzat yang merusak. Karena itu di dalam Al Qur’an menyuruh kita berpuasa agar kita sehat.

Ada banyak hal yang disampaikan mbah Nun dan para pemantik lainnya. Hingga sampai pada sesi tanya jawab. Ada yang bertanya tentang kesurupan dari segi kedokteran. Hal ini memancing kru kiai kanjeng bercerita tentang pengalaman mereka seputar kesurupan. Ada juga orang asal Cirebon yang curhat terlebih dahulu dan meminta saran untuk perjalanan hidupnya kedepan. Ada pula yang bertanya ihwal mimpinya bertemu cak Nun. Ah diskusi makin gayeng saja. Aku suasana terkadang sunyi mendengar pemaparan atau kadang terbahak karena statmen dan celetukan dari berbagai pihak yang ada di majlis maiyah.

Sudah ya, capek juga nulis tentang malem pitulasan. Lain kali akan ku selipkan notes di hapeku agar lebih banyak poin – poin penting yang dapat meresap juga di hati dan dapat terimplementasi dikehidupan kita. Aamiin. Sekali lagi ilmu iku kelakone kanti laku.

Saptosari, 19 November 2017.

Dapat tempat duduk di tengah. Alhamdulillah..

Minggu, 05 November 2017

Maiyahan ke 4: Menciptakan diri

Suasana menginjak tengah malam, yang di depan geser. Yang belakang ke depan. hehe


Kamis, 02 November 2017 Pukul 19.00 Aku masih menikmati makan malam sambil diskusi mengenai Rencana Program Kerja (RPK) tugas kuliah. Padahal mbak Tari  (teman Maiyahan) sudah menunggu di kediamannya, Pandes. Aku mulai gelisah, antara budal atau stay at home. Ingin sekali membaca pesan mbak Tari, “Ya udah kalau emang masih lama rapatnya, ngga usah berangkat. Aku ngga apa2 berangkat sendirian,” tapi nyatanya, tidak . Sudah kadung janji, ya sudah berangkat. Kurang lebih pukul 19.30 aku sampai  di rumah yang ku tempati. Ambil jaket, charger Hp lalu cuss ke Pandes.

Suasana sudah sangat ramai. Mbah Nun sudah munggah ke panggung. Rasanya beda. Tentu saja beda. Ini adalah majlis masyarakat desa. Mbah Nun diminta mengisi acara dalam rangka perayaan hari jadi desa Guwosari Pajangan, Bantul. Acaranya di Balai desa. Mbah-mbah bersama anak dan cucunya sudah duduk manis digaris depan. Sebelah kiri duduk rapi para pemuda berkopyah Maiyah. Aku berbisik pada mbak Tari mengenai suasana ngaji yang amat sangat jauh berbeda dengan suasana di majlis Mocopat Syafaat atau majlis Maiyah lainnya. “Ya jelas beda. Ini kan majlisnya masyarakat desa. Yang datang kesini bukan semuanya orang Maiyah. Jadi berbeda dengan keadaan Mocopat Syafaat. Mereka sudah rutin dan tau harus bagaimana berlaku,” ucapnya.

Mbah Nun menerangkan berbagai konsep mengenai kerukunan, agama, politik dan lain sebagainya. Tak lupa juga mbah Nun menyampaikan mengenai majlis ini. Majlis ini adalah majlis mencari kebenaran. Bukan pembenaran “Jangan mengandalkan kebenaran tapi kita harus mengandalkan kebijakan,” papar Mbah Nun.

Ada banyak hal yang dipaparkan Mbah Nun. Kyai Muzammil juga turut serta menyampaikan keluasan ilmunya pada saat tanya jawab berlangsung. Ya momen itu semakin terlihat ke-maiyahannya saat menjelang tengah malam. Diskusi tentang makna Mujasima, Syahid dan pembahasan menganai mendidik anak. Dua dari pemabahasan disitu cukup berat. Berat untuk menuliskannya disini. Maklum lah, ilmuku iseh kelas teri. Mbok menowo nek tak jelaske keliru. hehe

Berbicara tentang mendidik anak tidak bisa terlepas dari dunia pendidikan. Hal ini juga termasuk kedalam bab-bab keresahan hatiku. Pendidikan sejatinya ada di tangan kedua orangtuanya. Karena merekalah yang menjadi role model nyata bagi anak – anaknya. Itu sih hanya hasil analisaku. Mungkin akan menjadi salah satu tulisanku di masa yang akan datang. Kapan, Far? Entahlah.

Si penanya memulai diskusi dengan mengungkit statmen Mas Sabrang mengenai kesalah pahaman  pendidikan di Indonesia. Bahwa pendidikan pada saat ini hanya menjadikan anak sebagai perpustakaan bukan belajar berpikir. Kemudian bertanya jalan  keluar dari masalah tersebut. Beliau seorang bapak dari dua orang anak. Mbah Nun menjawab bahwa sesuatunya tergantung kecondongan hatimu. “Yang penting hatimu, batinmu bagaimana dengan anakmu. Jangan lupa bahwa yang mendidik anakmu adalah Allah itu sendiri. Allamal insaana maa’lam ya’lam” kata Mbah Nun.

Disusul penjelasan dari Kyai Muzammil mengenai ilmu pengetahuan. Beliau ngendiko bahwa ada 2 jenis ilmu pengetahuan. Pertama ilmu fardu ‘ain yaitu ilmu mengenai hal -  hal yang sekarang dijalani. Contohnya ilmu menjadi anak ya haris tau menjadi anak itu seperti apa. Kedua ilmu fardu kifayah yaitu ilmu yang tidak semua orang harus tau. “Ini bergantung pada bakat masing – masing setiap orang,” ungkap Kyai Muzammil.

Mbah Nun juga menyampaikan tentang makna dari surat apa ya, aku lali. Intinya, mengingat Tuhan dalam keadaan apapun. Baik itu pada waktu duduk, berdiri ataupun berbaring. Hal ini juga diselaraskan dengan bagaimana “menciptakan dirimu sendiri dalam keadaan apapun”. Aku menengok rumah pemahamanku bahwa hal tersebut berkaitan dengan “memposisikan diri” ataupun menggali fokus. Misalnya, Aku susah menulis kalau dalam keadaan ramai atau bersama teman-temaku. Bawaannya pengen ngobrol, hehe. Nah ini berarti Aku belum bisa menerapkan konsep “menciptakan diri”. Padahal orang zaman baheula tidak tergoyahan karena situasi dan kondisi apapun.

Mbah Nun juga menyampaikan bahwa orang itu harus tekun. Beliau menceritakan bagaimana aktifitas menulisnya. Berbicara tentang skenario film Rayya, Cahaya di atas Cahaya, yang ditulisnya di atas pesawat menggunakan hanphone. Duh, jadi malu. Aku masih bergantung pada mood. Parah !
Malam itu juga ada sesi dimana para remaja masjid untuk turut bersholawatan di atas panggung. Syahdu sekali. Diakhir sesi mas Doni dan temannya menghibur para jamaah dengan dialog ora nggenah tapi gayeng tenan. Serru dan gokil abis !


Acara selesai jam 1 dini hari. Lalu dilanjutkan doa bersama dan kami berkesempatan untuk menyalami mbah Nun beserta para pengisi acara. Alhamdulillah ala kulli hal.

Embakku pendekar. Ini foto diambil sore sebelum berangkat Maiyahan di kantor Rifka Annisa