Rumput Liar

Kamis, 11 Agustus 2016

Serpihan Kisah Keistiqomahan si Supir Bus


Jumat siang ini terasa sangat panas. Perjalanan dari Gunungkidul menuju Piyungan cukup ramai. Saya melihat Bus jogja-wonosari yang juga menuju turun ke bawah berada di barisan depan motor yang saya kendarai. Soal Bus, saya jadi teringat suatu peristiwa. Dulu, ketika saya tinggal di pondok cabang di Jalan Ring Road Timur Banguntapan, saat itu hari jum’at sekitar jam 11 siang saya bersama adik saya menuju pondok pusat di Gunungkidul dengan  menaiki Bus. Keadaan di dalamnya sangat ramai. Dari anak sekolah hingga pedagang yang hendak kembali ke ataspun ada. Terik matahari sangat menyengat, bus melaju dengan kencang. Mendekati  lampu merah terakhir menuju ke atas, tepatnnya di daerah Piyungan, Bus tiba-tiba berhenti, mesin dimatikan. Supir dan kernetnya keluar dari Bus. Penumpang gundah, karena banyak dari mereka yang mengejar waktu sampai tujuan. Udara panas masuk ke dalam Bus menambah keresahan para penumpang. Dari perbincangan mereka, usut punya usut, ternyata kernet dan supir Bus, melaksanakan Shalat Jum’at di Masjid sekitar daerah tersebut.
Subhanallah mereka masih menjaga keistiqomahan Shalat Jum’at. Kemudian terlontar begitu saja dalam pikiran saya. Kenapa ndak ngajak penumpangnya sekalian pak, kan banyak tuh yang bapak-bapak? Hanya berpikir positif, mungkin malah takut diminta tancap gas lagi.
Hal seperti ini pernah saya alami di tempat asal saya, Cirebon. Waktu itu saya masih duduk di kelas XI MA, kalau tidak salah. Setiap hari jumat, saya mempunyai aktivitas rutin untuk pergi ke kota. Karena saya tinggal di ujung barat Cirebon, perbatasan dengan kabupaten lain. Tujuannya untuk mengedit dan menyetorkan hasil berita yang saya dapatkan  selama semingu ke salah satu koran swasta dimana saya magang. Sebenarnya saya berangkat dari rumah seperti biasa jam 10 pagi, hanya saja angkatan umum yang biasa saya gunakan tak kunjung datang. Sekali datang, kondisi Bus mini (saya biasa menyebutnya bus Elep) sangat memprihatinkan. Terlintas dalam pikiran saya, wah pasti bakal lama sampai tujuan ini. Karena prediksi kecepatan Bus bisa dilihat dari kondisi fisik Bus, analisa saya bagitu. Belum setengah dari perjalanan saya,  isi Bus mulai berkurang. Menyisakan saya dengan seorang remaja perempuan. Bus berhenti tepat di seberang jalan masjid. Kami hanya saling menatap bingun, karena tak ada  calon penumpang di luar yang memberhentikan bus.
“Maaf mbak sampai sini saja, silahkan cari bus lain. Saya mau jumatan dulu,” ucap bapak supir santun.
Kamipun terpaksa turun. Ketika saya akan memberikan ongkos Bus, supir itu menolak dengan halus.
“Ndak usah mbak, buat ongkos Bus yang lain saja,” ucapnya.
Ya memang benar jika saya menggunakan Bus lain, akan terkena ongkos double. Kecuali jika menggunakan sistem oper dari supir.
Sungguh pengalaman tersebut membuat saya memahami akan keistiqomahan seseorang. Dalam kondisi apapun, seharusnya tidak menggoyahkan apa yang sudah menjadi ‘kebutuhan’ seorang muslim. Semoga kita semua bisa menjaga keistiqomahan tersebut hingga dipetemukan dengan sang Khaliq.