Rumput Liar

Sabtu, 21 Oktober 2017

Maiyahan keloro : Posisimu nek endi?

Liat deh, posisinya,,, (wes Far, mbok disyukuri,,hehe)


Sinau bareng Mbah Nun digelar di Masjid Syuhada Yogyakarta, Kamis 28 Septemer 2017. Momen ini dalam rangka memperingati ulang tahun masjid. Alhamdulillah bisa hadir setelah berjuang menenangkan hati dalam keadaan yang serba ‘ngga enak’.

Ditemani sedulurku, Mbak Nia, sekaligus teman baru, mbak Revi. Nyampe sana sudah padat. Tak ada celah. Jadilah lungguh di samping panggung. Tidak terlalu jelas menatap mbah Nun. Tak apalah. Sudah bisa ikut ngaji pun wes syukur Alhamdulillah.

Berbeda dengan majlis Mocopat Syafaat, sinau bareng Cak Nun hanya sampai jam 12 malam. Ini sudah menajadi semacam kontrak. Esoknya mbah Nun mengisi acara di Solo. Meskipun singkat, tapi para  jamaah dapat mengambil poin-poin dalam majlis ini.

Mbah ngendikan mengenai bagaimana memposisikan diri dalam dimensi kebenaran. Seperti yang sering kita dengar mengenai pembagian golongan setelah wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW, bahwa ummat Nabi akan terbagi menjadi 72 golongan. Hanya ada 1 golongan yang benar yaitu para pengikut sunnah Nabu ‘Ahlusunnah wal jamaah’. “Kita noto diri. Kita posisikan sebagai golongan yang bukan orang yang benar itu. Agar kita selalu berusaha memperbaiki diri menjadi yang satu golongan,” tutur Mbah Nun.

Ya, Mbah Nun selalu mengajak kita untuk noto hati dan pikiran. Karena kita selalu diselimuti prasangka benar salah. Merasa paling benar, paling baik, paling alim, paling shalat dan paling-paling lainnya. Aku berlari ke rumah pemahamanku. Mungkin ini juga yang diingatkan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib.

“Jika kau melihat orang lain, pandanglah dia sebagai orang yang lebih baik darimu. Jika dia dalam keadaan buruk, pandanglah bahwa dia akan bertobat dan lebih baik darimu,”
Nasehatnya ngga sesimpel ini sih, tapi ini yang aku ingat. Lucunya sampai sekarangpun belum bisa sepenuhnya aku terapkan. Uangeeel pol !
Mbah Nun menguraikan mengenai menjadi ini dan itu. Lalu muncul pertanyaan, yang paling enak itu jadi apa? Semua terdiam.

“Jadi diri sendiri” aku mendengar lemparan jawaban dari jauh. Dari salah satu jamaah laki-laki.
“Yang paling enak adalah menjadi hamba Allah. Kesadaran diri bahwa kita ini hamba Allah. Maka tak ada yang bisa mengatur kita selain Allah,”terang mbah Nun.

Aku berlari lagi menuju rumah pemahamanku. Ini juga yang pernah disampaikan mbah Nun mengenai perjalanan jauh kiai kanjeng dan Letto. Mereka benar-benar hidup dengan cara Allah. Keluar dari jalur yang biasa dilakukan manusia. Mereka mengikuti jejak-jejak fatwa hati. Semua kembali pada konsep penghambaan diri.

Banyak hal yang disampaikan Mbah Nun. Sayang, barangkali otakku yang bebal. Hanya sedikit yang ku tangkap. Aku menengok layar hpku. Mencontek catatan di layar hp. Hanya sedikit yang ku catat. Tidak terlalu mengurai penjelasan juga. Barangkali  ada hal – hal yang membuatku tak khusuk menyimak. Duh.

Well, ini adalah tulisan paling terlambat. Tapi semangatku untuk mengabadikan perjalanan hidupku masih keukeh ku juga. Ya ini lah yang bisa ku tulis. Maklum saja, memandang leptop selalu teringat pada proposal. Nah, nek gini piye lek nulis liyane. Ora iso blasss.


Yogyakarta, 21 Oktober 2017.







Ini pas pertama kali dateng. Iseh sepi.