Rumput Liar

Rabu, 22 Maret 2017

Sekilas cerita di kelas mahasiswa Tuli

Kita tahu bahwa mahasiswa Tuli kesulitan untuk mengikuti perkuliahan karena keterbatasan dalam pendengaran. Lebih sulit lagi jika kelas tersebut mengadakan diskusi kelompok. Mahasiswa Tuli akan kesulitan mengikuti jalannya diskusi. Nah, karena itu PLD memberikan layanan pendampingan untuk mahasiswa Tuli. Bukan. Bukan pendampingan mahasiswa Tuli melainkan pendampingan dosen di kelas. Mengapa? Karena lagi-lagi dosen lah yang berkewajiban menyampaikan informasi pengetahuan kepada mahasiswa di kelas.

Siang itu sebenarnya sudah ada relawan yang membantu dia (mahasiswa Tuli di kelasku) mengikuti jalannya diskusi. Saya yang duduk di pojok kiri berhadapan langsung dengan kelompok dia. Meski jarak cukup jauh tapi nampak terlihat jelas ada komunikasi yang terjadi antara dia dan teman satu kelompoknya. Telaten. Sabar mengulang penjelasan. Saya cukup terenyuh melihatnya. Karena saya tahu betul tidak banyak yang mau melakukan itu. Memang betul tidak mudah. Tapi cukup terbantu dengan dia yang mampu membaca gerakan bibir (oral) dan ketika berbicara juga terdengar suara meskipun sangat kecil. Inilah yang memudahkan siapapun berkomunikasi dengan dia dengan syarat berbicara pelan dan membuka mulut agar terlihat jelas kosa kata yang dikeluarkan. Relawan yang duduk di samping mahasiswa Tuli, terlihat lebih pasif. Hanya sesekali mencatat. Mengapa demikian? Saya menangkap dia kurang memahami penjelasan dari dosen dan kelompok lain.

Tahukah Anda bahwa saat menjadi pendamping di kelas, relawan perlu memahami materi yang di jelaskan dosen kemudian baru dapat menjelaskan kembali dan dicatat. Itulah kesulitan yang kedua setelah terbatasnya pengetahuan bahasa isyarat.
Ini hal yang wajar. Saya sendiri pernah mengalami. Mata kuliah katalogisasi dalam bahasa arab (Ora paham blasss). Solusinya, saya meminta mahasiswa Tuli untuk lebih banyak bertanya pada teman sekelas.

Mungkin Anda akan menyarankan pendampingan diserahkan pada teman sekelas. Ini juga pernah saya alami. Cukup efektif. Tapi lagi-lagi kemampuan orang berbeda-beda. Saya pernah mengalami kepala cenat-cenut karena materi yang dibahas cukup berat dan saat itu juga harus menjelaskan kepada mahasiswa Tuli yang duduk di samping saya. Pun juga dialami beberapa relawan lain yang mengalami kasus yang sama. “Keteteran. Karena pikiran sibuk memahami setelah itu menjelaskan dan dilanjutkan dengan memperhatikan dosen. Kadang sering tertinggal,” itu kata relawan lain.

Harus disadari bahwa setiap metode memang memiliki kekurangan dan kelebihan. Terlepas dari hal itu alangkah bijaknya jika kita menghargai telinga kita dengan menjadi telinga bagi mereka, teman-teman Tuli. Seperti relawan PLD UIN Sunan Kalijaga yang rela menshodaqohkan waktunya untuk teman-teman Tuli. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang gatal untuk segera keluar dari kelas, mereka mau menjadi penyambung lidah. Apalagi jika waktu kuliah 3 sks atau setara 150 menit. Bagi saya, itu terasa 5 jam.Tepuk salut untuk mereka.

Terikasih Shofiatuzzahro, Anda telah berkontribusi menuju masyarakat inklusi.

Yogyakarta, 23 Maret 2017.