Rumput Liar

Minggu, 12 Juni 2016

Berguru pada sosok sederhana, Bapak Arif Maftuhin.



Berguru pada sosok sederhana, Bapak Arif Maftuhin.
"Bapak, kenapa bapak sangat bersikukuh untuk menerapkan sistem tepat waktu? Padahal orang lain sudah memakai jam karet," pertanyaan yang terlontar dari mulutku ketika memasuki pertemuan kedua kelas Fiqih Sosial.
"Ini tentang bagaimana saya mendidik orang-orang yang akan mendidik anak cucu saya dan orang-orang yang akan menjadi pemimpin bangsa ini," ungkap beliau dengan tegas.
Itulah prinsip yang selalu diterapkan oleh Bapak Arif Maftuhin.
Pernah ada salah satu teman saya yang terlambat 3 menit, jam masuknya 12.30. Padahal sebelum kelas ini satu kelas denganku, artinya posisi dia sudah di Fakultas Dakwah. Tentu saja tidak ada ampun baginya, karena sudah ada perjanjian di pertemuan pertama. Ada dispensasi ketika mahasiswa tersebut menghubungi dosen via sms ataupun whats up. Alasan tersebut juga harus dapat diterima  secara logis.
Saya sangat tertetegun dengan prinsip yang beliau pegang. sangat kuat. Dulu ketika saya menginjak remaja, idealisme untuk memegang prinsip tersebut sangat kuat. Tapi mulai luntur karena melihat situasi dan kondisi yang mulai terbiasa dengan budaya tidak tepat waktu alias jam karet.
Pertama kali saya mengenal Bapak Arif Maftuhin dari selembar koran yang berisi tentang deskripsi Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebuah tempat untuk melayani orang-orang berkebutuhan khusus yang sedang menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga ini.
Ketika memasuki pertemuan pertama kuliah fiqih sosial, saya berbisik ke pada teman sebelah kiri saya.
"Bapak itu, kepala PLD loh. Kemaren masuk koran.,"
Salah satu bidang yang beliau geluti adalah advokasi orang dengan disabilitas. Bidang yang sangat menarik hati saya untuk ikut terjun di dalamnya. Salah satu kerebat dari kakek saya mengalami tuna rungu. Tidak dari lahir, ada suatu peristiwa yang membuatnya tidak bisa mendengar dan berbicara. seorang peremuan cantik yang tak pernah mengenyam pendidikan dasar sekalipun. Usianya berbeda 2 tahun dari saya. Kami sering menggunakan bahasa isyarat sekenanya. Bahasa yang diciptakan ia dan keluarganya. Terkadang tidak bisa dipahami oleh lawan bicaranya.
Kakek dari bapak saya juga memiliki seorang kakak yang buta. Meskipun begitu beliau hafal beberapa surat di dalam Al Qur'an. Beliau banyak mendengar kajian Al Qur'an.
Terjun di dunia mereka bukanlah hal yang baru bagi saya. sejak kecil saya berdampingan dengan orang-orang 'istimewa' seperti mereka.
Foto-foto diatas adalah momentum pameran mengenai Lansia dan Disabilitas, Jum'at 10 juni 2016. Dosen pengampu mata kuliah tersebut adalah Ibu Ro'fah, salah satu pendiri PLD. Teman seperjuangan bapak Arif dalam advokasi orang dengan disabilitas.
Mendengar  dan membaca tulisan advokasi dari Bapak Arif Maftuhin membuat saya bertekad untuk menciptakan masyarakat yang inklusi, masyarakat yang menerima setiap perbedaan. Meskipun proses tersebut tidaklah mudah, masih panjang jalan terjal yang harus dilalui. Dan berguru pada Bapak Arif dan Ibu Ro'fah adalah salah satu proses yang harus dilalui.

Salam Inklusi