Rumput Liar

Senin, 15 Agustus 2016

Hujan Berkah di Al Mumtaz



Shallu a’lannabii Muhammad..
Allahumma shallu a’laihh...

Beberapa lagu dilantunkan oleh grup hadroh Al Mumtaz mengawali acara malam mujahadah dan pengajian Dzikrul Ghofilin di Pondok Pesantren Al Mumtaz. Paginya, semaan Al Qur’an hingga malam hari dan dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh Bapak K.H. Henri Sutopo, pengasuh pondok pesantren Krapyak. Acara ini sekaligus Walimatussafar (pamitan haji) Abah Khoiron dan Ibu Zudiati Ulfa, pengasuh pondok pesantren Al Mumtaz. Malam itu, rintik hujan sudah menampakkan kehadirannya sejak acara dimulai. Bak racikan bumbu yang semakin menambah kesyahduan majlis shalawat. Warga dan para santri putra dan putri telah menempati tika-tikar yang tertata rapi di sekitar panggung. Begitupun saya, bersama dengan teman-teman saya menempati posisi kiri depan panggung. Pilihan strategis untuk merekam atau sekedar mengambil gambar.
Sekitar pukul 21.00 mujahadah dimulai. Air langit turun dengan deras memberi ‘berkah’ pada jamaah yang hadir. Mereka yang tidak dalam posisi atap terlindungi mencari tempat untuk berteduh. Beruntungnya kami dalam posisi aman. Namun tidak dengan alas kami. Air mulai merembas masuk ke dalam celah-celah tikar. Kaki kami mulai terasa basah. Tapi nyatanya hal tersebut tidak membuat niat mencari ilmu kami luntur. Begitu juga para jamaah dan santri. Dalam sambutannya Abah Khoiron berkata bahwa setiap Pondok Pesantren Al Mumtaz mengadakan pengajian, hujan turut serta bersama kami.
“Dan itulah yang menjadi berkah dan rejeki bagi kita semua,”  tambah Abah.
Malam semakin merangkak. Acara dilanjutkan dengan tausiyah oleh Bapak K.H. Sukron Jazilan dari Surabaya. Beliau menyampaikan bahwa sebaik-baik orang pasti buruknya dan seburuk-buruk orang pasti ada baiknya.
“seapik-apike wong pasti ono elee lan sa ele-elee wong yo ono apike. Iku jenenge menuso,” begitulah dalam bahasa jawa.
Satu hal lagi yang masih tertinggal di benak saya ketika beliau menyampaikan bahwa hidup itu tidak seharusnya saling merendahkan.
“urip iku ojo merendahkan orang lain. Barangkali dia itu adalah kekasih Allah. Ciri dari kekasih Allah itu rahasia,” pungkasnya.
Hal sederhana yang mungkin biasa kita lakukan, pun saya sendiri. Saya teringat salah satu sohabat Rasullah, kalau tidak salah sohabat Ali. Beliau menjelaskan bagaimana ‘semestinya’ kita memandang orang lain. Meletakkan diri pada posisi yang paling buruk karena kita mengetahui keburukan sifat kita. Serta mengingat selalu kebaikan orang lain. Hal ini mugkin sepele hanya berkisar pada tatanan pola pikir. Tapi dari sinilah awal kita bersikap dan berperilaku dalam menghadapi orang lain.
Dua hari yang singkat ini menampakkan berbagai hal sudut pandang. Berkali-kali saya melihat santri putra, kira-kira anak-anak MTs, berpencar ke setiap sudut tempat pengajian untuk sekedar mengumpulkan sampah ke kantong plastik yang mereka bawa masing-masing. Saya yakin mereka tidak sedang kerja bakti seperti yang biasa mereka lakukan setiap pagi. Karena mereka menggunakan baju putih dan sarung untuk sengaja mengikuti acara. Ada desiran rasa syukur melihat mereka yang terdidik untuk berlaku bersih dan menjaga lingkungannya. Kendati usia mereka masih sangat muda.
Tak hanya itu, kerja keras para santri yang dewasa sangat terlihat ketika hujan ‘menebar’ berkah. Ada yang mengantar para kyai dan pengasuh pesantren dengan tangan memanjang keatas memegang payung sedangkan mereka sendiri basah kuyup. Membagikan nasi untuk para jamaah dengan berjuang melawan genangan air serta tanah yang berubah menjadi seperti lumpur. Tapi tak ada guratan mengeluh yang terlihat di mata mereka. Hujan benar-benar menjadi barokah kala itu.
Esoknya, Ahad 14 agustus 2016 hujan memberi tempat untuk bulan dan langit yang terang. Semaan Al-Qur’an berjalan dengan khidmat. Para hafidz yang berasal dari jawa timur ini semoga menambah semangat para santri untuk istiqomah mengikuti jejak beliau. Acara ini hingga larut malam.

Dua hari yang berkesan semoga menambah iman serta semangat membuka keridhoan Allah. Aamiin.