Rumput Liar

Senin, 04 Desember 2017

Ngawiji



Lihat di belakang, ada penari Sufi.

di depan jamaah laki2, lalu ada satir membagi 2 kubu.

Penari Sufi uakeh banget..

Ngaji di pondok Maulana Rumi

Jum’at, 1 Desember 2017 adalah hari paling nekadku. Nekad untuk tak peduli dengan tatapan kecewa mereka. Aku mengikuti fatwa hatiku (mungkin). Adzan maghrib menjadi teman perjalananku menuju Krapyak. Aku masih bertanya – tanya.
“Tuhan ini nafsu atau kah fatwa hatiku?” Entahlah.
Semuanya serba mendadak. Itu salah satu hal yang selalu aku hindari. Tapi mau gimana lagi. Pulang dari Klaten jam 16.00 sampai rumah. Mandi shalat makan dsb. Ada pesan masuk, mengajak untuk ngaji di Pondok Maulana Rumi, Bantul.  Sebenarnya prediksiku tidak bisa ikut. Ora ono kancane. Si embak yang biasa temen ngaji maiyahan lagi pulkam ke Grobogan. Toh juga weekend ini rencana sowan ke pondok Patuk. Ternyataaa, batal lah pahingan di sana. Aku memilih yang bukan rutinan, ngaji di pondok asuhan Cak Kuswaidi ini.
Salah satu alasan yang memberatkanku adalah kehadiran Kyai Budi Harjono dari Semarang. Sudah sejak lama aku ingin kepanggih dengan sosok yang menyihirku dengan rajutan kata-kata beliau. Aku mengenalnya di majlis Maiyah bersama Mbah Nun. Membahas tentang Cinta. Begitupun juga di majlis ini.
Ada banyak sekali pembahasan yang di urai dalam majlis ini. Selain Cak Kus dan Kyai Budi, sebelumnya juga sudah ada paparan dari Pak Kyai Edi Ah Iyubenu. Salah satu penulis di Mojok. Aku banyak mengambil pelajaran dari beliau. Seperti tentang kehidupan ini. Semula bermula dari hati kita. Apapun yang terjadi bergantung pada kondisi hati kita. Contoh misalkan kita sedang mengendarai sepeda motor. Lalu ada orang lain yang memotong jalan kita. Kemudian orang itu terjatuh. Kalau hati kita kurang baik mungkin akan menyalahkan dia. Tapi jika kita punya perasaan welas asih tentu kita akan menolong. “Karena itu PR kita adalah ngawiji dengan gusti Allah,” tutur pak Edi.
Beliau juga membagi kisah tentang temannya yang seorang pengusaha sukses. Sayangnya dia tidak bisa percaya dengan orang lain. Hingga pada suatu haru mengalami strouke dan akibat dari hal itu adalah lupa. Ia lupa  terhadap masa yang sudah ia jalani selama menjadi pengusaha. Sehingga ia tidak tau berapa banyak kekayaan yang ia miliki. “Apa yang sudah dilakukan dengan susah payah, sirna begitu saja dengan satu penyakit. Maka fokuskan kehidupan yang baik hari ini,” ungkapnya.
Kyai Budi memaparkan dominasi makna Cinta. Beberapa kali beliau membacakan baris – bari milik Rumi. Seperti berikut ini: “Ya Allah kebenaran belum kati temukan. Maka dengan menari salahkah aku yang berkelana demi Kau. Di lembahmu kami berkeliling dan karenanya bumi kami iramakan,”
Berbicara tentang cinta adalah sesuatu yang amat dahsyat. Yang menggendong lara untuk pelayanan sejati pada sang empu maha cinta. Kyai Budi menjelaskan pula tentang bagaimana cinta dalam konteks yang lebih luas. “Kata Allah, aku dikenal melalui cinta. Kalau sampel lihatlah singa tidak memakan anaknya,” tutur Kyai Budi.
Cak Kus lebih banyak memberi pengantar pada awal acara. Sedangkan aku datang lumayan terlambat. Jadi tak sempat menampung paparan belaiu. Usai Kyai Budi ngendiko, Cak Kus mengambil alih dengan membaca kitab karangan Rumi, kitab masnawi. Lalu mejelaskan dengan puisi – puisi beliau.
Majlis Cak Kus berbeda dengan majlis maiyahan yang diasuh Cak Nun. Perbedaan tersebut bukan untuk dipertentangkan mana yang baik dan lebih baik. Keduanya memilih jalan yang berbeda dalam ngayomi anak – anak dan masyarakat. Tapi aku mencari benang merah yang sama yaitu bertemu pada tujuan yang sama yaitu memahami diri untuk meneguk Cinta Allah dan Rasulullah. Refleksi dari hal tersebut terlihat dari perkembangan para jamaah yang menemukan Cintanya.

Wirobrajan, 4 Desember 2017
*Ini sedikit catatan saat berlangsungnya ngaji,