Rumput Liar

Kamis, 03 Mei 2018

Milad PLD yang ke 11

Sesi seminar nasional

Rabu, 02 Mei 2018 saya beserta keluarga besar Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga merayakan hari jadi PLD yang ke 11. Bagi saya sendiri, ini momen yang mengharukan. Jangan tanya berapa tahun, saya bergabung di dalamnya. Karena menjadi bagian dari PLD adalah suatu keberuntungan yang tidak direncanakan. Saya pribadi, belum banyak memberikan kontribusi untuk PLD.

Acara berlansung lebih dari sekedar meriah. Sebab menjadi panitia dadakan dengan ‘kegupuhannya’ menjadi amat berarti. Maklum ini momen semacam reuni dimana para dosen relawan PLD, difabel, orangtua difabel, serta para relawan dapat saling menyapa. Sebab tak banyak kesempatan seperti ini. Saya pribadi masih asing dengan beberapa orangtua dari mahasiswa difabel yang baru.
Ada beberapa hal yang sangat membekas di memori saya mengenai hari itu. Pada awal sesi, sesuai jadwal puncak lomba debat berlangsung. Ya ini adalah lomba yang diselenggarakan PLD untuk umum. Sebelumnya sudah berlangsung dan puncaknya adalah hari itu. Jangan tanya soal bagaimana acara ini ya. Karena saya masih wara – wiri di lobi. hehe. Selesai dengan lomba debat, lalu dimulailah upacara Milad PLD dengan rentetan pernak – perniknya. Seperti potong tumpeng, foto bersama para pendiri PLD dan lain sebagainya.

Acara diselingi dengan pentas teatrikal mahasiswa Tuli (ini penyebutan suatu komunitas dengan difabel rungu. Ingat ya, T nya besar). Mereka mementaskan puisi yang menekankan pada hak berpartisipasi dalam dunia sosial. Mereka melakukan gerakan bahasa isyarat lalu ada seorang relawan yang membaca puisi sebagai interpretasi dari gerakan teman – teman Tuli. Momen seperti ini selalu mengharukan. Di awal upacara Milad, mereka juga turut dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya serta himne UIN dengan menggunakan bahasa isyarat. Ah rasanya syahdu sekali melihat pemandangan ini. Momen langka. hehe

Tibalah pada acara yang dinanti. Yaitu seminar nasional dengan tema “Hak pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas mental”. Ada 2 pembicara, yaitu ibu Ro’fah sebagai salah satu pendiri PLD dan ibu Yeni Rosa Damayanti. Sesi ini dipandu oleh ibu Andayani, pendiri PLD yang juga pengampu mata kuliah kesehatan mental di kelas saya dulu. Berbicara tentang penyandang disabilitas mental, pikiran saya langsung berlari ke berbagai isu yang sering dibahas dalam kelas kesehatan mental. Seperti stigma negatif, pengucilan, dan selalu berdampingan dengan pengertian ‘orang gila’.

Ibu Yeni memaparkan dengan sangat detail mengenai siapa penyandang disabilitas mental dan apa yang menjadi problem penyandang disabilitas mental di perguruan tinggi. Penyandang disabilitas mental bukanlah suatu hal yang baru. Menurut penelitian, 1% dari suatu tempat kapan pun dan dimanapun terdapat penyandang disabilitas mental. “Kalau di UIN ini ada sekitar tiga ribu mahasiswa maka hitung saja berapa satu persen darinya. Tapi sebagian besar mereka tidak melaporkan karena stigma negatif itu tadi,” ucap ibu Yeni.

Ada berbagai macam penyandang disabilitas mental, seperti depresi, kecemasan berlebihan, skizofrenia, bipolar dan lain sebagainya yang berhubungan dengan keadaan dimana seseorang tidak bisa mengendalikan diri. Informasi mengenai hal itu dapat ditemukan dengan berselancar di internet. Membahas mengenai hal itu tidak ada habisnya. hehe.Garis besarnya hal itu akan menghambat keberlangsungan proses belajar di perkuliahan.

Menurut undang – undang no 8  tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, mereka yang mengalami gangguan mental berhak mendapatkan pendidikan di semua lini atau jurusan. Lembaga pendidikan juga wajib memberikan akomodasi yang layak untuk mereka. Pada poin ini, saya baru mengerti mengenai perbedaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Lebih mudahnya, saya menangkap bahwa aksesibilitas adalah kemudahan yang diberikan ada atau tidak ada penyandang disabilitas ia akan tetap ada. Contohnya ramp atau jalan landai. Ia akan tetap ada meskipun tidak ada penyandang disabilitas yang menggunakannya. Seperti halnya lift dan guiding block ­(jalan timbul untuk tuna netra).  Sifatnya umum, siapa saja bisa menikmatinya.

Sedangkan akomodasi yang layak bersifat perindividu dan diberikan jika diminta. Misalnya perpanjangan waktu untuk mengerjakan ujian, ruangan relaks saat penyandang disabilitas mengalami relaps atau kambuh dan akomodasi lainnya. “Akomodasi ini tidak membutuhkan uang. Hanya hal – hal sederhana yang membatu mereka dalam proses belajar,”ungkapnya lagi.

Ibu Ro’fah memaparkan tentang penyandang disabilitas mental yang beliau temui di kampus ini. PLD memang belum terlalu jauh dalam menangani penyandang disabilitas mental. Ya lagi – lagi disebabkan mereka yang mengalami hal tersebut memilih diam. Ada beberapa yang melaporkan dan meminta bantuan kepada pihak PLD. “Kami di PLD, berusaha untuk mengkomunikasikan hal ini dengan pihak terkait,” tutur ibu Ro’fah.

Ibu Ro’fah juga menceritakan tentang kasus yang dialami penyandang disabilitas mental. “Saat hendak berangkat ke kampus, dia diantar oleh orangtuanya karena jarak yang cukup jauh. Dia tidak bisa terlambat maka orangtua sudah terburu – buru di dalam perjalanan. Kemudian sampai di kampus, dia mengalami relaps dan tidak bisa mengikuti kuliah,”
Padas sesi tanya jawab, saya bertanya mengenai pengalaman ibu Yeni dalam mengahadapi penyandang disabilitas mental. Adakah mereka yang sembuh? Apa yang bisa kita lakukan saat penyandang disabilitas mental mengalami gangguan dan mengalami puncak dimana dia ingin bunuh diri? Jawaban untuk pertanyaan pertama sangat  menarik.

“Makna sembuh itu seperti apa sih? Apakah dia yang mengalami skizofrenia tidak akan mendapatkan bisikan lagi? Kondisi penyandang disabilitas mental itu selalu naik turun. Pada saat relaps ya kita hadapi. Biarkan dia mengalami hal itu. Lalu akan turun lagi. Biasa lagi,” jawab beliau.

Saya menangkap ekspresi wajah yang sangat tenang dan ringan disitu. Beliau juga menekankan bahwa relaps adalah kondisi yang wajar. Di sela – sela pemaparannya beliau menjelaskan bahwa adik kandungnya mengalami gangguan skizofrenia. Yaitu kondisi dimana seseorang mendapat bisikan – bisikan negatif dalam kurun waktu yang terus menerus. Kemudian bu Ro’fah memberikan jawaban yang kedua bahwa pada kondisi fatal seperti itu kita tidak bisa bertindak sendirian. Artinya kita membutuhkan tim ahli untuk menangani hal tersebut.

Ada banyak hal yang menurut kita sepele tapi sangat berarti untuk mereka yang mengalami gangguan mental. Seperti mendengarkan keluh kesah, memberikan ruang untuk bercerita dan sekedar menjalin komunikasi yang baik. Hal itu sudah sangat membantu kondisi mereka agar lebih baik. “Memang pengobatan secara medis itu diperlukan tetapi tidak cukup sampai disitu. Karena obat hanyalah bagian kecil saja. Selebihnya lingkungan sosial sangat mempengaruhi penyandang disabilitas mental,”

Satu hal lain yang menarik adalah ungkapan dari ibu Yeni bahwa sudut pandang keluarga mengenai penyadang disabilitas mental sangat mempengaruhi bagaimana mereka memandang dunianya. “Saat sudut pandang keluarga berbeda maka sudut pandang dia pun akan berubah,” pungkasnya.


Selamat Milad PLD.