Rumput Liar

Senin, 25 September 2017

Maiyahan : Ngijoli lek kagol wingi








Ada banyak hal yang kadang tak bisa dirajut dengan kata, disemat dengan pita atau diurai dengan air. Seperti kala itu. Aku butuh memberi jarak agar mampu menoreh bait – baik rasa syukur ini.
Tanggal 17 malam setiap bulan selalu ada majlis ilmu sinau bareng mbah Nun dan Kiai kanjeng beserta seperangkat atributnya seperti Mas Sabrang dll. Ini kegiatannya malam hingga dini hari. Jangan bertanya bagaimana proses bernegosiasiku dengan diri sendiri. Puanjaaang poll. Barang kali ajian ini mustajab “Niat apik Allah qobul” wes ngono thok.

Malem itu, dibumbui doa, aku beserta kawanku lungguh di depan  panggung. Jauh amat jauh dari panggung. Kami hanya menyaksikan melalui layar yang terbentang di tengah kerumunan manusia. Sesekali ku longok melalui celah pagar wajah teduh mbah Nun beserta dzuriyahnya. Barang kali dengan begitu, ilmu beliau bisa tetap terngiyang dan terpatri dalam diri. Lalu menjadi rem dan gas dalam bertindak.

Mas Sabrang  memulai dengan asumsi-asumsinya yang membangun. Seperti tentang bias dalam diri. “Ono maling lewat tak antemi watu. Dimana letak biasnya?”
Jamaah Maiyah mulai bersorak melempar jawaban. “Watune cilik opo gede? Jarak e sepiro?” dan celotehan lain yang membuat suasana semakin riuh,
“Bias informasi selalu ada. Maka berhati – hatilah dengan informasi yang kau terima.” sebersit pesan yang mas Sabrang sampaikan.

Malam itu terasa dingin yang berbeda. Syahdu. Barang kali kata itu yang mampu mendeskripsikan rasaku. Sekelilingku mulai mengurai barisan. Barang kali banyak kesibukan esok hingga tak mungkin  merampungkan majlis ilmu.

Di tengah acara, mbah Nun memberi uraian terkait esensi musik. Bahwa pada dasarnya hidup ini adalah rangkaian musik. Setiap hal selalu megandung musikalisasi. “Ngentut juga ada musiknya. Kodok itu juga ada musiknya. Jadi kalau ada yang melarang bermusik pindahlah di tempat yang tidak ada musiknya. Padahal alam semesta ini dipenuhi dengan musik,” papar Mbah Nun.

Saat waktu mejemput, aku merasakan kesyahduan yang amat terasa. Mbah Nun mengjak seluruh jamaah berdiri untuk melantunkan doa – doa. Angin membelaiku lembut. Membisikkan kerinduan pada yang Maha. Semoga dapat selalu lungguh di majlis ini.

-----

Judul dari tulisan ini, Maiyahan : Ngijoli lek kagol wingi. Barang kali Allah benar – benar berbaik hati memberi  ruang dan waktu untukku. Semuanya terkonsep dengan indah. Ini “ngijoli” menggantikan 2 majlis yang ingin sekali aku duduk di dalamnya. Sayang, waktu tak mnegijinkan. Mungkin kali ini Allah baru  mengabulkan ayuhan doa sepedaku.


Yogyakarta, 26 September 2017