Rumput Liar

Senin, 14 November 2016

Target penerjemah

Dia masih asik menjelaskan tentang acara tadi. Diskusi tentang Kota Inklusi bersama teman-teman Tuli dan pihak pemerintahan Kota Yogyakarta. Itulah Dhomas, si cerdas dari Yogyakarta. Karena dia asli Kota Yogyakarta ini maka dia diundang untuk mengikuti diskusi tersebut sebagai salah satu wakil Tuli dari mahasiswa PLD. Belum selesai penjelasan darinya, seseorang memanggilku dari belakang. Rupanya Rahma.
"Sebentar ya," ucapku sambil menyerahkan tanganku dipangkuannya. Aku masih tetap fokus menatap Dhomas yang masih meneruskan penjelasannya. Selang beberapa saat, mataku beralih pada Rahma. Dia salah satu relawan di Pusat Layanan Difabel (PLD) ini, sama sepertiku. 
"Mbak, Lia sekarang presentasi. Tapi aku ga bisa bahasa isyarat, sedangkan dia maunya sama yang udah lancar bahasa isyarat," kisahnya. 
Deg, aku aja belum bisa. Gumanku. Lia sama seperti Dhomas, Mahasiswa Tuli. Bedanya Dhomas masih mampu memahami bahasa oral sedangkan Lia full memakai bahasa isyarat. Aku bertanya tentang bagaimana sikap Lia dan persiapan yang dilakukan Rahma. Dari penjelasannya aku memahami tentang perjuangan Rahma selama satu minggu untuk memahami makalah yang akan dipresentasikan Lia.
"Aku udah minta untuk diajari bahasa isyarat sama dia. Tapi Dia bilang waktu seminggu ngga cukup," ungkapnya lagi.
Aku dan Lia kebetulan satu jurusan. Rahma menjelaskan mata kuliah dan dosennya. Pak Arif ternyata dengan mata kuliah Fiqih Sosial. Sudah kujelaskan Rahma. Aku belum lancar menerjemahkan bahasa isyarat. Apalagi bahasa isyarat Lia. Aaah aku belum bisa memahami. 
"Tapi  mbak lebih bisa dari aku, ayolah mbak,"
Akhirnya aku iyakan untuk mencoba menggantikan peran Rahma. Aaah itupun kalau dia mau. Pikirku.
Sampai di lantai 4 Fakultas Dakwah, Lia masih berbincang dengan temannya. Dosennya belum masuk. Awalnya Rahma meminta maaf dan menjelaskan pergantian pendamping. Tapi sayang dari ekspresi wajahnya aku bisa menangkap kalau aku juga ditolak olehnya.
Aku mencoba menjelaskan dengan bahasa isyarat perihal masalah yang dihadapi  kami.
"Aku tidak mau didampingi sama yang belum bisa bahasa isyarat. Khawatir nanti salah saat menjelaskan," ungkapnya melalu gerakan jari-jemari.
Aku menegaskan padanya. Tidak ada pendamping di PLD. Dia harus lebih memilih untuk didampingi oleh salah satu dari kita atau lebih baik presentasi sendirian.
"Aku tidak mau. Kamu harus belajar lagi," Itu lah kalimat terakhirnya setelah menjelaskan keinginannya untuk didampingi oleh relawan senior yang tak ada wujudnya di PLD saat ini. Huh.

Yaaaah, target tahun ini mampu menerjemahkan bahasa isyarat.
Terimkasih Lia telah menembak tepat dititik kelemahanku.



Pusat Layanan Difabel,
15 Oktober 2016