Rumput Liar

Jumat, 24 November 2017

Maiyahan ke 6: Kekuatan Batin

Mbah Nun beserta jejeran struktur pemerintah desa Bangunharjo


Selama Maiyahan, aku selalu pulang ke tempat embak di desa Pandes, Panggungharjo Bantul. Maiyahan kali ini di desa sebelah, Bangunharjo. Sekitar 10 menit sudah sampai majlis. Seperti biasa berangkat dengan Mbak Tari, partner maiyahan. Jam 20.00 sudah sampai majlis dan belum ada tanda – tanda acara akan dimulai. Hanya rekaman suara Mbah Nun yang mengiri jamaah yang berlalu lalang mencari tempat lungguh.

Baru sekitar pukul 21.00 Mbah Nun dan kiai kanjeng hadir di majlis setalah sebelumnya para perangkat desa mengisi prosesi pembukaan. Dibuka dengan istighfar dan shalawatan, suasana menjadi amat syahdu sekali. Aku pribadi,  sangat suka dengan momen seperti ini. Seperti ada gemuruh yang merontokkan diri yang kotor ini.

Mbah Nun menjelaskan tentang makna jawa dan islam. Orang jawa tetaplah menjadi jawa dengan nilai – nilai islam yang dibawa oleh Rasulullah. Bukan menjadi Arab. Kemudian penjelasan melebar ke pada kondisi sosial saat ini. Klitih salah satunya. Mbah Nun mengajak para jamaah untuk berdiskusi masalah ini. Beberapa jamah memberikan komentar. Salah satu dari mereka mengatakan begini “Klitih itu karena mereka para pemuda yang jauh dari cahaya ilahiyah. Makannya harus disuruh ikut maiyahan,” gelak tawa menyabung.

Mbah Nun ngendiko mengenai konsep sebab akibat. Melihat klitih dari sisi akibat. Bahwa ada yang tidak beres dan menyebabkan terjadinya klitih. Klitih dari beberapa sumber yang pernah aku baca adalah aktivitas seseorang di malam hari untuk mencari makanan di angkringan atau di wilayah setempat. Namun berubah makna pada saat ini. Klitih diidentikan dengan tindakan kriminal yang dilakukan oleh para remaja SMP atau SMA yang dilakukan di jalan. Analisis yang dipakai Mbah Nun adalah penyebab dari tindakan kriminal tersebut. “Tak usah meminta negara untuk ikut memberesi hal ini. Kita koreksi diri kita dulu dalam mendidik anak,” ujar Mbah Nun.

Mendidik anak menurut Mbah Nun adalah bergantung pada batin orangtua kepada anaknya. Karena yang mendidik anak adalah Allah maka didorong dengan doa dan batin orangtuanya. Beliau juga menyampaikan kondisi anak jaman sekarang yang memaksa orangtuanya untuk membelikan sepeda motor padahal belum waktunya. Diskusi tentang klitih ditutup Mbah Nun dengan statmen pola pendidikan anak.

Hingga tengah malam suasana semakin gayeng saja dengan diwarnai tingkah mas Doni dan mas Jijit saat mengajak anggota lain memperlihatkan permainan jaman dulu. Suara gelak tawa terus membanjiri majlis ini. Sekitar pukul 1 malam acara ditutup mbah Nun. Kami mulai mencari barisan untuk mencium tangan sang guru. Bseperti biasa suara lantunan doa menyerbak dari Mbah Nun setelah sebelumnya dipimpin doa oleh mas Islami.
Alhamdulillah, bisa hadir di majlis ini.

Wirobrajan, 24 November 2017.

permainan mbuh ora reti njenenge
Aku dan Mbak Tari