Rumput Liar

Rabu, 09 Agustus 2017

Kelas Maghrib

Kelas Tahfidz
Ada 7 peri cilik (percil) yang datang maghrib tadi. Biasanya hanya 2 bahkan hanya sisa satu. Itu karena rumah si percil itu pas di depan Mushala. Lainnya cukup jauh. Ke tujuh percil masuk dalam satu kelas kereta : kelas percil iqro. Tidak semua anak dalam jilid yang sama. Jilid tertinggi Ayu, jilid 5.

Ada satu kelas Iqro lagi. Kajian ibu dan simbah - simbah yang semangat ngaji. Ada sekitar 5 – 7 orang. Masih tahap jilid 2. Diampu salah satu temanku.

Lalu ada satu kelas tahzin. Ngaji membentuk lingkaran. Kemudian bergilir membaca beberapa ayat. Ada satu percilku, Farisa, yang ikut kelas ini. Karena ia sudah menginjak Al-Qur’an. Meski ia masih duduk di sekolah dasar. Lalu ada satu laki-laki, anak SMP, yang ikut kelas ini. Ada sekitar 10 – 15 orang bahkan terkadang  lebih. Terdiri dari remaja sekitar desa ini, ibu bapak dan teman – teman saya.

Ketiga kelompok ini terpisah. Saat saya mulai kelas kereta, salah satu percil bernama Ayu menempatkan diri di posisi seperti saya. Menghadap percil – percil. Dia meminta izin mengajari temannya yang masih tahap jilid 1.

Selesai dengan satu orang, ia berkata “Ayo sopo meneh ngaji karo aku,” dengan lagak orang dewasa. Salah satu temannya maju di hadapannya.

Saat saya masih menunduk mendengarkan suara lirih percil lain, salah satu simbah datang menghampiri. Simbah masih dalam tahap jilid satu. Berbeda sendiri dengan teman – temannya. Kemarin juga sama. Beliau keluar dari halaqoh yang saat itu saya ampu dan berpindah ke teman saya yang saat itu mengajar percil juga.

Saat saya masih berurusan dengan satu percil yang belum selesai satu kaca, simbah lungguh di samping saya. “Kene nduk, ngajari simbah,” kata beliau kepada percil yang masuk jilid 3. Si percil hanya senyam-senyum.

“Cah pinter,” katanya lagi usai mengecup pipi percil itu.


Klaten, 6 Agustus 2017