Rumput Liar

Jumat, 20 Oktober 2017

Paseduluran Maiyah


Pitulasan bulan Oktober

Saya sedih terlalu sedih karena selalu terlambat untuk menuliskan setiap hal yang seharusnya saya tulis. Barangkali bisa dikodo akan saya lakukan. Sekalipun entah deretan huruf itu tak lagi dapat terangkai mampesona.

Aku masih duduk termangu di dalam majlis Mocopat Syafaat di Bantul. Sebelahku ada teman baru, Mbak Tari. Aku baru mengenalnya hari ini. Entah ada tarikan dalam frequensi yang sama hingga kami saling menemukan. Akhirnya, jadilah kami dalam majlis ini.
Ini adalah kali ketiga aku mengikuti majlis maiyah namun ke dua di majlis Mocopat Syafaat. Bagiku yang kehilangan majlis-majlis, momen seperti ini layaknya musafir yang menemukan oase kehidupan.

Kami datang cukup awal. Sekalipun  pelungguhan di depan sudah penuh. Untunglah masih ada celah di tengah. Acara dimulai dengan tadarus surat An-Nisa. Syahdu. Mungkin karena nada dari pelantun di atas panggung membangkitkan suasana. Suarane apik. Sayang ada kaidah membaca yang kurang pas denganku.

Shadakallahul adzim. Berhenti di surat An-Nisa ayat 100. Dibuka oleh para pegiat Maiyah. Aku tak mengenal mereka. Suasana baru menanjak riuh ketika Kyai Muzzamil rawuh di atas panggung. Lalu mengajak diskusi para jamaah Maiyah.
“Kaidah berpikir feqih (maksudnya fiqih) itu ada tiga hal. Ada sebab, syarat, dan mani. Contohnya shalat. Sebabnya sudah masuk waktu, syaratnya ada banyak seperti islam, baligh, berakal sehat dan sebagainya. Lalu mani adalah terhalangnya apa yang dituju karena suatu hal. Contohnya keluar darah haid,”ungkap kyai Muzammil.

Kemudian beliau analogikan dengan pola pikir jaman sekarang yang terlalu saklek dalam memandang setiap perkara. Perihal contoh-contoh ini  lah yang bikin ‘ngakak’ jamaah. Setelah satu jam berlalu, barulah Mbah Nun beserta Bu Via rawuh menyapa jamaah yang mayoritas anak muda ini. Ada sih bapak-bapak dan ibu-ibu tapi bisa diitung dengan jari. Lebih mayoritas lagi laki-laki muda. Perempuan seusia saya sangat sedikit. Hampir 20 % kira – kira segitu.

Sayang, Mas Sabrang tidak ikut hadir malam ini. Berbeda dengan pitulasan bulan kemaren. Mas Sabrang rawuh dengan formasi lengkap personil Letto Band. Tak apa memang. Aku tetap mampu melebur menjadi satu dalam majlis Maiyah ini.

Nomor yang dibawakan kiai kanjeng yang pertama adalah bang-bang wetan. Aku langsung bersorak ria. Ini salah satu lagu favoritku. Suara bu Via yang mendayu-dayu syahdu ditambah alunan musik kiai kanjeng yang mampu menarik diri pada irama asik. Ah pokoe asik tenan !.

Mbah Nun membuka diskusi dengan menyapa pemuda dari Papua. Kemudian meminta mereka bergabung diatas panggung. Ya, tema hari ini sepertinya tentang plurarisme dan keIndonesiaan. Mungkin benar, mereka adalah kaum minoritas di tanah Yogyakarta yang kerap kali mendapat perlakuan diskriminatif. Itu menurut pengalaman mereka. Merefleksikan diri pada pengalaman yang saya alami. Stigma negatif tentang mereka wis kadung nempel karena ulah sebagian dari mereka yang kurang apik. Saya pernah ketakutan di tengah jalan dengan tingkah usil seseorang.  Dia laki - laki berwajah Papua mendekati motorku dengan wajah melotot dan hampir menyerempet motor yang ku kendarai. Dia tak memakai helm sehingga saya ingat betul tatapan menyeramkan itu. Ternyata dia juga melakukan ha yang kepada orang lain di depan saya. Ditambah lagi selentingan tentang mereka dalam suatu wilayah membuat gaduh warga suatu desa di desa tersebut. Stigma ini semakin terpojok dengan mereka yang minoritas di jogja, non muslim.

Mbah Nun memberi saran agar orangtua mereka yaitu pemerintah Papua dan Yogyakarta seharusnya duduk bersama untuk membicarakan banyak hal terjait para perantau ini. “Lah nek moro ning aku, aku ki udu sopo-sopo. Aku ki podo karo sampean. Rakyat biasa,” tambah Mbah Nun.
Rasanya jika aku menuliskan semua hal yang terjadi disana, tak mungkin selesai dalam semalam. Hehe. Ah kadang kata tak mampu melukis rasa. Menjelang akhir sesi, sekitar jam 2 dini hari, hujan turun. Mungkin ia juga ingin di tengah – tengah majlis ilmu ini. Kami yang ada di dalam semakin merapatkan diri agar sedulur maiyah lain dapat ikut merapat, berteduh.

Di sinilah, aku merasa paseduluran yang terasa kental. Kita saling ngemong, saling peka satu sama lain. Tempat dimana aku lungguh mulai dibanjiri air, akibat bocor dari atap. Samping kanan ku mas-mas memberikan bekas cup kopi untuk menampung air. Lalu dari arah belakang memberi plastik agar air tak loncat kanan kiri. Ah. Aku merasa diemong tenan. Apa karena sifatku yang baper? Ah tidak juga. Mbak Tari juga ngemong sedulur maiyah yang lain. Agar tidak kehujanan, tidak basah karena air dan memastikan kita semua nyaman. Mungkin itu sedulur sing tenanan.

Majlis ditutup dengan do’a yang dipimpin pak Kiai Muzammil. Lalu setelah itu aku berkesempatan untuk mencium tangan Mbah Nun. Alhamdulillah. Setelah perjuangan antri berdesakan. Nggak nyaman juga sih. Duh. Tapi bersyukur bisa sowan langsung kepada Mbah Nun.


Yogyakarta, 20 Oktober 2017