Rumput Liar

Minggu, 30 Juli 2017

Komunikasi Tuli di film "Sebuah lagu untuk Tuhan"

Foto : Google


Pagi saat waktu sarapan berlangsung, Tv menyala. Isi tayangannya sebuah film berjudul “Sebuah Lagu untuk Tuhan”. Tentang seorang gadis difabel Tuli yang mengidap kanker ganas. Saya tidak begitu paham alur cerita yang disajikan. Lihat cuma sekilas, hanya beberapa menit. Saya tertarik melihat komunikasi yang yang terjalin antar permain.

Sudah bagus, setiap kalimat selalu ada keterangan teks tertulis. Sudah sangat aksesibel untuk teman – teman Tuli. Eriska yang berperan sebagai Angel, gadis Tuli, terbiasa menggunakan bahasa oral. Bahasa seperti kita orang dengar. Hanya saja suaranya tidak terlalu ‘cetho’.

Ada beberapa hal yang ‘ngganjel’ menurut saya. Pertama, komunikasi yang terjalin tidak sesuai dengan etika pola komunikasi difabel Tuli. Seluruh lawan main Angel, saat berkomunikasi denganya, berbicara dengan kecepatan orang dengar. Tidak menatap mata. Serta cenderung tidak ada hambatan dalam berkomunikasi. Padahal, difabel Tuli sangat sulit berkomunikasi jika tanpa fokus menatap lawan bicaranya. Harus pelan dan membentuk kata demi kata. Tidak jarang, kita harus mengulang atau memperjelas maksud kita.

Dalam film tersebut, saya hanya melihat Ibu Dewi Yul yang berperan sebagai ibu Angel, berbicara sesuai dengan kaidahnya. Mungkin hal ini didukung pengalaman beliau saat berkomunikasi dengan putranya yang juga Tuli, mas Surya Sahetapy.

Kedua, ada kalanya Angel memakai bahasa isyarat dengan Stefan (Gilang), lawan mainnya. Sayang, bahasa isyarat yang digunakan itu ‘sekenanya’. Tidak sesuai dengan bahasa isyarat yang biasa digunakan teman – teman Tuli. Ada dua macam sebenarnya, Bahasa isyarat SIBI dan Bisindo. Di Yogyakarta, setau saya lebih mendominasi memakai Bisindo.

Saat menyaksikan film tersebut, saya berharap besar terhadap awareness komunikasi dengan teman – teman Tuli. Bentuk dari hal tersebut tentu mengetahui etika komunikasi dan mengaplikasikannya. Contoh kasus yang saya alami, saat ada teman yang mengajak bicara tentang suatu hal, saya akan membicarakan kembali pada teman Tuli di samping saya. Sehingga dia dapat merespon kepada orang pertama tadi. Memang iya, kita harus menyesuaikan dengan kebiasaan teman Tuli kita. Memakai bahasa isyarat atau bahasa oral. Kalau kesulitan, gunakanlah hp yang selalu digenggaman tangan itu untuk mengetik pesan lalu ditunjukkan ke dia.

Sulit jika masih perdana, asik kalau terbiasa. Nah, kalau sudah begini, masyrakat inklusif semakin mudah terwujud.

Klaten, 29 Juli 2017