Rumput Liar

Senin, 27 Maret 2017

Kampung Dolanan dan Remaja itu

Berada tepat di depan sanggar

Sabtu (25/03/2017), saya menyempatkan diri berkunjung ke kampung ini. Bukan yang pertama kali. Sudah berkali-kali. Tahun 2016 lalu saya dan teman-teman satu kelompok melakukan observasi untuk tugas kewirausahaan sosial. Kampung Dolanan merupakan sebutan lain dari Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Ada banyak makna dibalik nama kampung dolanan. Mungkin akan saya ceritakan lain waktu. Kali ini, saya berniat untuk mengenal komunitas Diffcom (Difabel and Friends Community). Teman saya, Fahmi, yang juga anggota komunitas tersebut sudah melobi Mas Butong, selaku pendiri Diffcom.

Sekitar pukul 11.00 siang kami sampai di dusun ini. Tepatnya di aula Pojok Budaya. Tidak terlalu sepi. Ada dua perempuan yang duduk di teras dan beberapa ibu-ibu bersama anaknya di dalam ruangan yang berjendela kaca transparan itu. Kami disambut dengan nyanyian merdu seruling (kalau tidak salah ya). Saya tidak tau persis berasal dari mana. Hanya saja suaranya cukup keras. Kami duduk di teras menanti sang narasumber.

Narasumber kali ini seorang difabel daksa sejak lahir. Berjalan dengan menggunakan tongkat. Untuk mobilitasnya, pemilik nama lengkap Sukri Budi Dharma ini  menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi beroda empat. Kami terlibat diskusi yang sangat menarik. Membahas isu disabilitas di ranah pendidikan, sosial hingga menyentuh sorotan media. Banyak hal yang saya dapatkan dari beliau. Terutama pandangan psikologis mengenai difabel itu sendiri.

Saat kami terlibat diskusi, tak sedikit warga masyarakat yang berlalu-lalang. Sering kali Mas Butong refleks berhenti berucap dan menyapa setiap orang yang melewati sanggar ini. Salah satu yang membuat saya tertegun adalah saat seorang anak laki-laki mengenakan seragam SMP datang menghampiri kami. Menyalami kami satu persatu. Ia mengatakan mau ke sekolah, sedang ujian. Dari penjelasan Mas Butong, anak itu sedang ujian praktik komputer. Karena terbatas peralatan, jadilah diberlakukan sistem kloter. “Biasanya sepulang sekolah dia ke tempat saya untuk belajar musik. Sore juga begitu. Diusia yang sangat rentan, dia sibuk melakukan hal yang positif,” ungkapnya.

Bagi saya, ini kali pertama bertemu dengan remaja laki-laki di desa yang cukup santun. Sudah berkali-kali saya menemukan momen ironis pada remaja sekarang. Momen terkena lemparan sampah dari remaja putri berseragam MTs misalnya. Dia tepat di depan motor yang saya kendarai. Baru pulang sekolah dan dijemput. Mungkin dia kelaparan hingga makan di perjalanan. Hal yang membuat saya geregetan tentu saja dia yang enggan menyimpan sampah plastik pembungkus makanannya.
Memori kisah dari guru saya sewaktu menimba ilmu di Aliyah terputar otomatis saat itu. Kisah seorang bocah yang menyimpan bungkus permen di saku clananya karena saat itu ia sedang di kenadaraan umum. Tidak kah dia mendengar cerita itu? Atau adakah dari sekian nasehat  gurunya yang ia lakukan?

Kisah lain yang tak kalah ironi saat saya berada di minibus. Mobil itu cukup penuh. Mata saya menyelidik mencari tempat kosong. Saya memilih di belakang laki-laki berseragam SMA itu. Tak lama kemudian anak itu menyetopkan mobil. Ia hendak turun. Tas yang Ia bawa cukup penuh. Hingga mengenai kepala saya. Sontak saya mengaduh. Cukup keras. Apa yang dilakukan anak itu? Ia diam. Cuek dan berlalu begitu saja.
Dari kedua kisah ini muncul pertanyaan. Is there something wrong with your education?

Yogyakarta, 27 Maret 2017