Rumput Liar

Minggu, 19 Juni 2016

Beretika dalam Komunikasi Bahasa Isyarat



Beretika dalam Komunikasi Bahasa Isyarat
Berbicara mengenai etika, secara universal berarti attitude atau tingkah laku. Etika memiliki jangkauan yang sangat luas dalam kehidupan sosial manusia. Tanpa etika, hubungan antar individu tidak akan terasa nyaman. Dalam hal ini tentu saja etika yang baik. Karena etika berkonotasi dengan saling menghargai dan menghormati. Setiap berkomunikasi dengan orang lain, pasti memiliki etika yang berbeda bergantung pada siapa lawan bicara. Tak terkecuali etika ketika berkomunikasi dengan mereka yang tuna rungu (Tuli). Bahasa isyarat adalah alternatif untuk menyampaikan maksud dan tujuan agar dapat dimengerti oleh mereka. Maka etika pasti ada di dalam komunikasi tersebut.
Suatu ketika saya berada di Pusat Layanan Difabel dan seperti biasa mencoba untuk berkomunikasi dengan mereka yang berbahasa isyarat.  Saat sedang fokus dengan salah satu dari mereka, seorang relawan PLD memanggil nama saya dan menanyakan tentang charger Handphone. Saya reflek menoleh dan menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian beranjak dari tempat duduk saya menuju letak tas yang berada di depan meja. Setelah selesai urusan dengan charger, saya kembali duduk dan mencoba berkomunikasi kembali. Saat itu sedang membahas sebuah foto di facebook. Foto tersebut menggambarkan kegiatan 8 orang Tuli yang berada di Amerika dalam program pertukaran pelajar. Saat itu saya meminta dia menjelaskan ulang apa yang mereka pelajari disana. Respon yang diberikan membuat saya merasa ketakutan untuk menatap mata teman ‘istimewa’ ini. Dengan beberapa gerakan tangan disertai gerakan mulut, ia menjelaskan pada saya sesuatu yang baru saya pahami.
“Kalau kamu berbicara dengan tuna rungu harus fokus, matanya menatap. Kalau tidak begitu, aku harus mengulang terus. Aku capek. Kamu bisa berbicara dengan orang normal dengan mengerjakan hal lain. Matamu bisa kemana-mana. Tapi kalau dengan Tuli, kamu harus fokus. Hati-hati kamu. Ingat dalam berkomunikasi itu ada etikanya !.
Aku terus menatapnya dengan pandangan takut. Kurang lebih 15 menit dia menerangkan dan memberi contoh mengenai etika yang ia maksud. Sesekali aku balas dengan anggukan dan gerakan ibu jari yang menyatu dengan telunjuk membentuk huruf O kemudian diarahkan ke pipi dekat bibir sebelah kanan. Isyarat untuk kata ‘Maaf’.
Etika berkomunikasi dalam bahasa isyarat pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan etika dengan orang pada umumnya. Menatap, fokus dan memperhatikan setiap pembicaraan. Namun alih-alih modernisasi, etika ini semakin memudar.  Semakin terbiasa duduk dan fokus pada android. Pun ketika berkomunikasi secara langsung. Kebiasaan menyambi dengan melakukan pekerjaan lain, dinggap sudah terbiasa. Nah, mereka yang berkomunikasi dengan gerakan tangan tidak akan terima dengan perubahan ini. Karena etika tersebut menjadi faktor pendorong  sampai atau tidaknya suatu penjelasan.
            Ketika melakukan wawancara sekalipun, hentikan kebiasaa untuk mendengarkan sambil menulis. Karena pengalaman yang disampaikan teman saya ini, hasil wawancara dengan kerja seperti itu tidak berhasil. Artinya lawan bicara tidak memahami penjelasan yang telah disampaikan. Maka terapkanlah etika ini !
Ketika tulisan ini akan saya posting di Blog, saya meminta koreksi terlebih dahulu dengan seseorang yang selalu memakai bahasa isyarat, M. Beni Sasongko. Mahasiswa semester akhir jurusan PAI yang sedang menyusun skripsi mengenai bacaan shalat untuk Tuli. Kemudian menulis berikut ini.

Hafidh berasal dari Yogyakarta, kelas 3 SMA. Menurutnya : tuli beda dengan Tuli. Huruf kecil (t) tuli arti bahasa kasar. Sedangkan huruf besar (T) Tuli adalah orang yang bangga berbahasa isyarat.

Awalnya saya pikir itu sama sekali tidak berpengaruh. Tapi bagi sebagian orang tentu  menimbulkan tafsiran yang berbeda. Maka saya tulis dengan rekomendasi di atas.


Salam Inklusi



Ket: Moment latihan bahasa isyarat