Rumput Liar

Sabtu, 20 Agustus 2016

Sudah pulang, kata mereka.


Waktu seperti berlari begitu cepat, tak memangdang keadaan siapapun. Entah suka maupun duka. Aku masih berdiri di depan pintu duka itu. Bukan untuk menyesali kepergiannmu, nek. Tapi menyesal karena tak sempat menjengukmu. Meski begitu, aku masih beruntung  sempat mencium punggung tanganmu dan meminta doa darimu, sesampainya aku di rumah kemarin.
Hari-hari suram di rumah nenek yang bersampingan dengan rumahku, masih aku rasakan, sangat kuat. Mengingatnya sebagai malam duka. Ketika itu, aku masih duduk berbincang dengan tamuku, seorang ibu, wali santri dari pondok dimana aku tinggal sekarang. Salah satu sepupu perempuanku datang, membuka pintu. Tergesa-gesa memberi kabar duka itu. Kaget, pasti. Tapi saat itu hatiku berdesir.
“Nenek sekarang sudah tenang ya, sudah bahagia,”
Tak ada air mata karena sibuk menyiapkan kedatangan nenek dari rumah sakit. Nenek punya banyak cucu, semuanya ikut membantu menyiapkan keperluan nenek. Dari memandikan sampai mengkafani. Nenek akan dishalatkan dan dikuburkan besok pagi. Rumah itu ramai dengan para tetangga yang juga sibuk membantu kami. Saat mengkafani, melihat orang yang sangat dekat dengan kita, terbujur kaku, saat terakhir memandang wajah tenang itu, sangat menyedihkan. Pamanku, si bungsu nenek, keluar dari kamar, menyaksikan wajah nenek yang akan ditutup kain kafan, paman mendekat dan mencium wajah lembut itu. Tak ada yang bisa menahan tangis melihat momen tersebut. Aku dan semua cucu nenek yang mengelilingi ruangan itu, berusaha menahan air mata sekuat tenaga.
“Jangan menangis ! Boleh menangis, tapi jangan disini,”
Suara seorang ibu yang membantu mengkafani nenek, seperti komando untuk segera menghapus air mata dan beralih mendoakan nenek. Karena tak ada yang bersedia kehilangan kesempatan untuk menatap wajah tenang nenek.
Paginya prosesi menyolati dan mengkuburkan nenek berjalan dengan lancar. Kakek terus bercerita kepada saudara jauh yang datang melayad. Katanya, nenek beruntung pergi saat semua cucunya berkumpul di rumah. Dishalati sampai tiga kali rombongan. Yang pertama dari pihak keluarga, kedua dari para pemuda setempat, yang terakhir oleh rombongan Kyai pondok dimana pamanku mengabdi.
Prosesi pemakaman diakhiri dengan tahlil oleh keluarga besarku. Aku beserta beberapa cucu nenek mengantar ke peristirahatan terakhir. Semuanya berusaha tegar di hadapan nenek.
Banyak orang yang datang melayad ke rumah nenek, bertemu salam sapa dan sesekali menceritakan kronologi detik terakhir kepergian nenek. Mereka bilang, nenek sudah pulang. Bukankah konotasi ‘pulang’ adalah bahagia, karena kembali dengan orang-orang terkasih?
Kali pertamanya aku merasakan kepergian seseorang terkasih.

Semoga Allah menempatkan nenek di sisi Allah yang Maha Agung.