Rumput Liar

Rabu, 01 Maret 2017

Bahasa jawa Cirebon, jawa Jogja dan bahasa sunda

Photo : by Tilikana.com

Bagi orang  yang tak mengenal Cirebon, menyangka bahasa yang digunakan di Cirebon adalah bahasa sunda. Memang ada beberapa wilayah Cirebon yang memakai bahasa sunda. Tapi untuk daerah sekitar kabupaten hingga daerah saya di ujung barat Cirebon (Ciwaringin), memakai bahasa jawa. Anehnya, ketika saya memasuki daerah  Majalengka  yang berada di perbatasan Cirebon tersebut, bahasa yang digunakan campuran. Sebagian menggunakan bahasa sunda dan sebagian bahasa jawa Cirebon. Ini lebih terkontaminasi bahasa Cirebon.
Tapi di sekolah Aliyah saya dulu, MAN Model Ciwaringin (sekarang MAN 2 Cirebon), mayoritas adalah orang sunda. Karena itu saya belajar bahasa sunda dari mereka dan selalu memakai bahasa indonesia untuk berkomunikasi. Menginjak kelas 2 SMA, dalam diskusi saya merespon beberapa kalimat dengan bahasa khas Cirebon. Teman saya kaget dan mengatakan “Loh kok kamu bisa bahasa jawa?”  Loh saya asli sini kok. Ah memang ya menjadi minoritas di rumah sendiri itu tidak enak . hiks.
Di Jogja tidak sedikit teman-teman yang asli sunda dari berbagai daerah. Ini membuat saya lebih akrab karena sesekali bisa “otomatis nyambung” ketika mereka berbicara dalam bahasa sunda. Walaupun bahasa sunda saya masih sekacau bahasa jawa jogja. Duh. Ini juga yang membuat beberapa orang memanggil saya dengan sebutan “teteh” sebutan sunda kepada perempuan. Ungkapan yang sama seperti “mbak” di Jogja.
Bahasa jawa yang disinggung teman saya diatas berbeda dengan bahasa jawa Jogja. Jauh berbeda ! Ketika saya mengatakan asal daerah saya, seseorang mengatakan begini, “Wah Cirebon bahasanya kacau,”. (Jleb banget. Sampai ke jantung)
Terlepas dari hal itu, Cirebon memang memiliki bahasa tersendiri. Bahasa ini lebih dikenal dengan sebutan “basa Cirebon”. Menurut ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon, Nurdin M. Noer “bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Kosa kata bahasa Cirebon juga terus berkembang tidak hanya ‘mengandalkan’ bahasa jawa maupun sunda”
Dari sini sudah terlihat bahwa basa Cirebon tidak bisa disamakan dengan bahasa jawa Jogja apalagi sunda. Karena itu saya yang hidup dilingkungan orang-orang asli Jogja dan sekitar jawa tengah harus mengimbangi mereka.
Pertama kali menginjak bumi Jogja untuk melanjutkan  sekolah, bahasa jogja menjadi bahasa asing yang kembali menyapa telinga saya. Sungguh begitu sulitnya memahami bahasa  Jogja. Sering kali saya terlibat percakapan dengan teman-teman menggunakan bahasa jawa. Saat itu pula saya selalu meminta penjelasan apa yang dibicarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jawaban pengantarnya adalah, “ribet ya ngomong sama kamu. Harus nerjemahin dulu ke bahasa Indonesia,” (seyum  sambil memberi tanda, harap maklum)
Ini juga terjadi ketika saya mengikuti pengajian rutin di pondok. Sang penceramah menggunakan bahasa kromo jogja yang sama sekali tidak bisa saya tangkap intinya.
Disini saya merasa menjadi Tuli. Terlebih ketika dalam majlis tersebut berjamaah tertawa atas “guyonan” sebagai selingan dalam pengajian. Saya hanya tengok kanan kiri sambil senyum. Meskipun yang berada di dekat saya, paham betul bahwa saya sama tidak mengerti. Duh.
Bahasa jawa ngoko yang digunakan untuk komunikasi dengan teman berbeda dengan bahasa kromo untuk komunikasi dengan orang lebih tua atau “disepuhkan”. Setiap kali saya menghadap dengan sesepuh itu, pengantarnya pasti menggunakan bahasa kromo dan “endingnya” menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, “Nggeh ngapunten kulo mboten saged nderek pengaosan. Karena saya.........”
Sama halnya ketika saya akan mengirim pesan untuk orang yang disepuhkan, bertanya dan mengecek ulang susunan kata agar tidak keliru adalah kunci kebenarannya. Sering kali saya ditegur langsung karena pengucapan yang tidak tepat. Ini juga terjadi ketika saya hidup di lingkungan berbahasa sunda dulu.  Tidak mudah memang menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa orang lain.
Tapi sungguh saya suka berbahasa dengan banyak bahasa. Mungkin ini ada kaitannya dengan jurusan yang saya ambil ketika Aliyah dulu, jurusa Bahasa. Ya walaupun dalam praktiknya saya harus banyak menelan ludah karena berbagai teguran.  Bagaimanapun juga pepatah lama “Dimana bumi dipijak disitulah bumi dijunjung” memang masih manjur.


Well, saya masih berjuang untuk membumisasikan diri di lingkungan dimana saya hidup. Jadi jika salah dalam bahasa harap maklum ya.

Yogyakarta, 01 Maret 2017