Suasana menginjak tengah malam, yang di depan geser. Yang belakang ke depan. hehe |
Kamis, 02 November 2017 Pukul 19.00 Aku masih
menikmati makan malam sambil diskusi mengenai Rencana Program Kerja (RPK) tugas
kuliah. Padahal mbak Tari (teman
Maiyahan) sudah menunggu di kediamannya, Pandes. Aku mulai gelisah, antara budal atau stay at home. Ingin sekali membaca pesan mbak Tari, “Ya udah kalau
emang masih lama rapatnya, ngga usah berangkat. Aku ngga apa2 berangkat
sendirian,” tapi nyatanya, tidak . Sudah kadung
janji, ya sudah berangkat. Kurang lebih pukul 19.30 aku sampai di rumah yang ku tempati. Ambil jaket,
charger Hp lalu cuss ke Pandes.
Suasana sudah sangat ramai. Mbah Nun sudah munggah ke panggung. Rasanya beda. Tentu
saja beda. Ini adalah majlis masyarakat desa. Mbah Nun diminta mengisi acara
dalam rangka perayaan hari jadi desa Guwosari Pajangan, Bantul. Acaranya di
Balai desa. Mbah-mbah bersama anak dan cucunya sudah duduk manis digaris depan.
Sebelah kiri duduk rapi para pemuda berkopyah Maiyah. Aku berbisik pada mbak
Tari mengenai suasana ngaji yang amat
sangat jauh berbeda dengan suasana di majlis Mocopat Syafaat atau majlis Maiyah
lainnya. “Ya jelas beda. Ini kan majlisnya masyarakat desa.
Yang datang kesini bukan semuanya orang Maiyah. Jadi berbeda dengan keadaan
Mocopat Syafaat. Mereka sudah rutin dan tau harus bagaimana berlaku,” ucapnya.
Mbah Nun menerangkan berbagai konsep mengenai
kerukunan, agama, politik dan lain sebagainya. Tak lupa juga mbah Nun
menyampaikan mengenai majlis ini. Majlis ini adalah majlis mencari kebenaran.
Bukan pembenaran “Jangan mengandalkan kebenaran tapi kita harus mengandalkan
kebijakan,” papar Mbah Nun.
Ada banyak hal yang dipaparkan Mbah Nun. Kyai
Muzammil juga turut serta menyampaikan keluasan ilmunya pada saat tanya jawab
berlangsung. Ya momen itu semakin terlihat ke-maiyahannya
saat menjelang tengah malam. Diskusi tentang makna Mujasima, Syahid dan pembahasan menganai mendidik anak. Dua dari
pemabahasan disitu cukup berat. Berat untuk menuliskannya disini. Maklum lah,
ilmuku iseh kelas teri. Mbok menowo nek tak jelaske keliru. hehe
Berbicara tentang mendidik anak tidak bisa terlepas
dari dunia pendidikan. Hal ini juga termasuk kedalam bab-bab keresahan hatiku.
Pendidikan sejatinya ada di tangan kedua orangtuanya. Karena merekalah yang
menjadi role model nyata bagi anak –
anaknya. Itu sih hanya hasil analisaku. Mungkin akan menjadi salah satu
tulisanku di masa yang akan datang. Kapan, Far? Entahlah.
Si penanya memulai diskusi dengan mengungkit statmen Mas Sabrang mengenai kesalah
pahaman pendidikan di Indonesia. Bahwa
pendidikan pada saat ini hanya menjadikan anak sebagai perpustakaan bukan
belajar berpikir. Kemudian bertanya jalan
keluar dari masalah tersebut. Beliau seorang bapak dari dua orang anak.
Mbah Nun menjawab bahwa sesuatunya tergantung kecondongan hatimu. “Yang penting
hatimu, batinmu bagaimana dengan anakmu. Jangan lupa bahwa yang mendidik anakmu
adalah Allah itu sendiri. Allamal insaana
maa’lam ya’lam” kata Mbah Nun.
Disusul penjelasan dari Kyai Muzammil mengenai ilmu
pengetahuan. Beliau ngendiko bahwa
ada 2 jenis ilmu pengetahuan. Pertama ilmu fardu ‘ain yaitu ilmu mengenai hal
- hal yang sekarang dijalani. Contohnya
ilmu menjadi anak ya haris tau menjadi anak itu seperti apa. Kedua ilmu fardu
kifayah yaitu ilmu yang tidak semua orang harus tau. “Ini bergantung pada bakat
masing – masing setiap orang,” ungkap Kyai Muzammil.
Mbah Nun juga menyampaikan tentang makna dari surat
apa ya, aku lali. Intinya, mengingat
Tuhan dalam keadaan apapun. Baik itu pada waktu duduk, berdiri ataupun
berbaring. Hal ini juga diselaraskan dengan bagaimana “menciptakan dirimu
sendiri dalam keadaan apapun”. Aku menengok rumah pemahamanku bahwa hal
tersebut berkaitan dengan “memposisikan diri” ataupun menggali fokus. Misalnya,
Aku susah menulis kalau dalam keadaan ramai atau bersama teman-temaku.
Bawaannya pengen ngobrol, hehe. Nah ini berarti Aku belum bisa menerapkan
konsep “menciptakan diri”. Padahal orang zaman baheula tidak tergoyahan karena situasi dan kondisi apapun.
Mbah Nun juga menyampaikan bahwa orang itu harus
tekun. Beliau menceritakan bagaimana aktifitas menulisnya. Berbicara tentang
skenario film Rayya, Cahaya di atas Cahaya, yang ditulisnya di atas pesawat
menggunakan hanphone. Duh, jadi malu.
Aku masih bergantung pada mood. Parah
!
Malam itu juga ada sesi dimana para remaja masjid
untuk turut bersholawatan di atas panggung. Syahdu sekali. Diakhir sesi mas
Doni dan temannya menghibur para jamaah dengan dialog ora nggenah tapi gayeng tenan.
Serru dan gokil abis !
Acara selesai jam 1 dini hari. Lalu dilanjutkan doa
bersama dan kami berkesempatan untuk menyalami mbah Nun beserta para pengisi
acara. Alhamdulillah ala kulli hal.
Embakku pendekar. Ini foto diambil sore sebelum berangkat Maiyahan di kantor Rifka Annisa |