Berada tepat di depan sanggar |
Sabtu (25/03/2017), saya menyempatkan
diri berkunjung ke kampung ini. Bukan yang pertama kali. Sudah berkali-kali.
Tahun 2016 lalu saya dan teman-teman satu kelompok melakukan observasi untuk
tugas kewirausahaan sosial. Kampung Dolanan merupakan sebutan lain dari Dusun
Pandes, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Ada banyak makna
dibalik nama kampung dolanan. Mungkin akan saya ceritakan lain waktu. Kali ini,
saya berniat untuk mengenal komunitas Diffcom (Difabel and Friends Community). Teman saya, Fahmi, yang juga
anggota komunitas tersebut sudah melobi Mas Butong, selaku pendiri Diffcom.
Sekitar pukul 11.00 siang kami sampai di
dusun ini. Tepatnya di aula Pojok Budaya. Tidak terlalu sepi. Ada dua perempuan
yang duduk di teras dan beberapa ibu-ibu bersama anaknya di dalam ruangan yang
berjendela kaca transparan itu. Kami disambut dengan nyanyian merdu seruling
(kalau tidak salah ya). Saya tidak tau persis berasal dari mana. Hanya saja
suaranya cukup keras. Kami duduk di teras menanti sang narasumber.
Narasumber kali ini seorang difabel
daksa sejak lahir. Berjalan dengan menggunakan tongkat. Untuk mobilitasnya,
pemilik nama lengkap Sukri Budi Dharma ini menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi
beroda empat. Kami terlibat diskusi yang sangat menarik. Membahas isu
disabilitas di ranah pendidikan, sosial hingga menyentuh sorotan media. Banyak
hal yang saya dapatkan dari beliau. Terutama pandangan psikologis mengenai
difabel itu sendiri.
Saat kami terlibat diskusi, tak sedikit
warga masyarakat yang berlalu-lalang. Sering kali Mas Butong refleks berhenti
berucap dan menyapa setiap orang yang melewati sanggar ini. Salah satu yang
membuat saya tertegun adalah saat seorang anak laki-laki mengenakan seragam SMP
datang menghampiri kami. Menyalami kami satu persatu. Ia mengatakan mau ke
sekolah, sedang ujian. Dari penjelasan Mas Butong, anak itu sedang ujian praktik
komputer. Karena terbatas peralatan, jadilah diberlakukan sistem kloter. “Biasanya
sepulang sekolah dia ke tempat saya untuk belajar musik. Sore juga begitu. Diusia
yang sangat rentan, dia sibuk melakukan hal yang positif,” ungkapnya.
Bagi saya, ini kali pertama bertemu
dengan remaja laki-laki di desa yang cukup santun. Sudah berkali-kali saya
menemukan momen ironis pada remaja sekarang. Momen terkena lemparan sampah dari
remaja putri berseragam MTs misalnya. Dia tepat di depan motor yang saya
kendarai. Baru pulang sekolah dan dijemput. Mungkin dia kelaparan hingga makan
di perjalanan. Hal yang membuat saya geregetan tentu saja dia yang enggan
menyimpan sampah plastik pembungkus makanannya.
Memori kisah dari guru saya sewaktu
menimba ilmu di Aliyah terputar otomatis saat itu. Kisah seorang bocah yang
menyimpan bungkus permen di saku clananya karena saat itu ia sedang di
kenadaraan umum. Tidak kah dia mendengar cerita itu? Atau adakah dari sekian
nasehat gurunya yang ia lakukan?
Kisah lain yang tak kalah ironi saat saya
berada di minibus. Mobil itu cukup penuh. Mata saya menyelidik mencari tempat
kosong. Saya memilih di belakang laki-laki berseragam SMA itu. Tak lama
kemudian anak itu menyetopkan mobil. Ia hendak turun. Tas yang Ia bawa cukup
penuh. Hingga mengenai kepala saya. Sontak saya mengaduh. Cukup keras. Apa yang
dilakukan anak itu? Ia diam. Cuek dan berlalu begitu saja.
Dari kedua kisah ini muncul pertanyaan. Is there
something wrong with your education?
Yogyakarta, 27 Maret 2017