Beretika
dalam Komunikasi Bahasa Isyarat
Berbicara
mengenai etika, secara universal berarti attitude atau tingkah laku. Etika
memiliki jangkauan yang sangat luas dalam kehidupan sosial manusia. Tanpa
etika, hubungan antar individu tidak akan terasa nyaman. Dalam hal ini tentu
saja etika yang baik. Karena etika berkonotasi dengan saling menghargai dan
menghormati. Setiap berkomunikasi dengan orang lain, pasti memiliki etika yang
berbeda bergantung pada siapa lawan bicara. Tak terkecuali etika ketika berkomunikasi
dengan mereka yang tuna rungu (Tuli). Bahasa isyarat adalah alternatif untuk
menyampaikan maksud dan tujuan agar dapat dimengerti oleh mereka. Maka etika
pasti ada di dalam komunikasi tersebut.
Suatu
ketika saya berada di Pusat Layanan Difabel dan seperti biasa mencoba untuk
berkomunikasi dengan mereka yang berbahasa isyarat. Saat sedang fokus dengan salah satu dari
mereka, seorang relawan PLD memanggil nama saya dan menanyakan tentang charger
Handphone. Saya reflek menoleh dan menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian
beranjak dari tempat duduk saya menuju letak tas yang berada di depan meja.
Setelah selesai urusan dengan charger, saya kembali duduk dan mencoba
berkomunikasi kembali. Saat itu sedang membahas sebuah foto di facebook. Foto
tersebut menggambarkan kegiatan 8 orang Tuli yang berada di Amerika dalam
program pertukaran pelajar. Saat itu saya meminta dia menjelaskan ulang apa
yang mereka pelajari disana. Respon yang diberikan membuat saya merasa
ketakutan untuk menatap mata teman ‘istimewa’ ini. Dengan beberapa gerakan
tangan disertai gerakan mulut, ia menjelaskan pada saya sesuatu yang baru saya
pahami.
“Kalau
kamu berbicara dengan tuna rungu harus fokus, matanya menatap. Kalau tidak
begitu, aku harus mengulang terus. Aku capek. Kamu bisa berbicara dengan orang
normal dengan mengerjakan hal lain. Matamu bisa kemana-mana. Tapi kalau dengan
Tuli, kamu harus fokus. Hati-hati kamu. Ingat dalam berkomunikasi itu ada
etikanya !.
Aku
terus menatapnya dengan pandangan takut. Kurang lebih 15 menit dia menerangkan
dan memberi contoh mengenai etika yang ia maksud. Sesekali aku balas dengan
anggukan dan gerakan ibu jari yang menyatu dengan telunjuk membentuk huruf O
kemudian diarahkan ke pipi dekat bibir sebelah kanan. Isyarat untuk kata ‘Maaf’.
Etika
berkomunikasi dalam bahasa isyarat pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan
etika dengan orang pada umumnya. Menatap, fokus dan memperhatikan setiap
pembicaraan. Namun alih-alih modernisasi, etika ini semakin memudar. Semakin terbiasa duduk dan fokus pada
android. Pun ketika berkomunikasi secara langsung. Kebiasaan menyambi dengan
melakukan pekerjaan lain, dinggap sudah terbiasa. Nah, mereka yang
berkomunikasi dengan gerakan tangan tidak akan terima dengan perubahan ini.
Karena etika tersebut menjadi faktor pendorong
sampai atau tidaknya suatu penjelasan.
Ketika melakukan wawancara sekalipun, hentikan kebiasaa
untuk mendengarkan sambil menulis. Karena pengalaman yang disampaikan teman
saya ini, hasil wawancara dengan kerja seperti itu tidak berhasil. Artinya
lawan bicara tidak memahami penjelasan yang telah disampaikan. Maka terapkanlah
etika ini !
Ketika tulisan ini akan
saya posting di Blog, saya meminta koreksi terlebih dahulu dengan seseorang
yang selalu memakai bahasa isyarat, M. Beni Sasongko. Mahasiswa semester akhir
jurusan PAI yang sedang menyusun skripsi mengenai bacaan shalat untuk Tuli. Kemudian
menulis berikut ini.
Hafidh
berasal dari Yogyakarta, kelas 3 SMA. Menurutnya : tuli beda dengan Tuli. Huruf
kecil (t) tuli arti bahasa kasar. Sedangkan huruf besar (T) Tuli adalah orang
yang bangga berbahasa isyarat.
Awalnya
saya pikir itu sama sekali tidak berpengaruh. Tapi bagi sebagian orang
tentu menimbulkan tafsiran yang berbeda.
Maka saya tulis dengan rekomendasi di atas.