Liat deh, posisinya,,, (wes Far, mbok disyukuri,,hehe) |
Sinau bareng Mbah Nun
digelar di Masjid Syuhada Yogyakarta, Kamis 28 Septemer 2017. Momen ini dalam
rangka memperingati ulang tahun masjid. Alhamdulillah bisa hadir setelah
berjuang menenangkan hati dalam keadaan yang serba ‘ngga enak’.
Ditemani sedulurku,
Mbak Nia, sekaligus teman baru, mbak Revi. Nyampe sana sudah padat. Tak ada
celah. Jadilah lungguh di samping
panggung. Tidak terlalu jelas menatap mbah Nun. Tak apalah. Sudah bisa ikut ngaji pun wes syukur Alhamdulillah.
Berbeda dengan majlis
Mocopat Syafaat, sinau bareng Cak Nun hanya sampai jam 12 malam. Ini sudah
menajadi semacam kontrak. Esoknya mbah Nun mengisi acara di Solo. Meskipun
singkat, tapi para jamaah dapat
mengambil poin-poin dalam majlis ini.
Mbah ngendikan mengenai bagaimana
memposisikan diri dalam dimensi kebenaran. Seperti yang sering kita dengar
mengenai pembagian golongan setelah wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW, bahwa
ummat Nabi akan terbagi menjadi 72 golongan. Hanya ada 1 golongan yang benar
yaitu para pengikut sunnah Nabu ‘Ahlusunnah wal jamaah’. “Kita noto diri. Kita
posisikan sebagai golongan yang bukan orang yang benar itu. Agar kita selalu
berusaha memperbaiki diri menjadi yang satu golongan,” tutur Mbah Nun.
Ya, Mbah Nun selalu
mengajak kita untuk noto hati dan
pikiran. Karena kita selalu diselimuti prasangka benar salah. Merasa paling
benar, paling baik, paling alim, paling shalat dan paling-paling lainnya. Aku
berlari ke rumah pemahamanku. Mungkin ini juga yang diingatkan oleh sayyidina
Ali bin Abi Thalib.
“Jika kau melihat orang
lain, pandanglah dia sebagai orang yang lebih baik darimu. Jika dia dalam
keadaan buruk, pandanglah bahwa dia akan bertobat dan lebih baik darimu,”
Nasehatnya
ngga sesimpel ini sih, tapi ini yang aku ingat. Lucunya sampai sekarangpun
belum bisa sepenuhnya aku terapkan. Uangeeel
pol !
Mbah Nun
menguraikan mengenai menjadi ini dan itu. Lalu muncul pertanyaan, yang paling
enak itu jadi apa? Semua terdiam.
“Jadi diri
sendiri” aku mendengar lemparan jawaban dari jauh. Dari salah satu jamaah
laki-laki.
“Yang paling
enak adalah menjadi hamba Allah. Kesadaran diri bahwa kita ini hamba Allah.
Maka tak ada yang bisa mengatur kita selain Allah,”terang mbah Nun.
Aku berlari
lagi menuju rumah pemahamanku. Ini juga yang pernah disampaikan mbah Nun
mengenai perjalanan jauh kiai kanjeng dan Letto. Mereka benar-benar hidup
dengan cara Allah. Keluar dari jalur yang biasa dilakukan manusia. Mereka
mengikuti jejak-jejak fatwa hati. Semua kembali pada konsep penghambaan diri.
Banyak hal
yang disampaikan Mbah Nun. Sayang, barangkali otakku yang bebal. Hanya sedikit yang ku tangkap. Aku menengok layar hpku.
Mencontek catatan di layar hp. Hanya sedikit yang ku catat. Tidak terlalu
mengurai penjelasan juga. Barangkali ada
hal – hal yang membuatku tak khusuk menyimak. Duh.
Well, ini
adalah tulisan paling terlambat. Tapi semangatku untuk mengabadikan perjalanan
hidupku masih keukeh ku juga. Ya ini
lah yang bisa ku tulis. Maklum saja, memandang leptop selalu teringat pada
proposal. Nah, nek gini piye lek nulis
liyane. Ora iso blasss.
Yogyakarta, 21
Oktober 2017.
Ini pas pertama kali dateng. Iseh sepi. |