Mbah Nun beserta jejeran struktur pemerintah desa Bangunharjo
Selama Maiyahan, aku
selalu pulang ke tempat embak di desa Pandes, Panggungharjo Bantul. Maiyahan
kali ini di desa sebelah, Bangunharjo. Sekitar 10 menit sudah sampai majlis.
Seperti biasa berangkat dengan Mbak Tari, partner maiyahan. Jam 20.00 sudah
sampai majlis dan belum ada tanda – tanda acara akan dimulai. Hanya rekaman suara
Mbah Nun yang mengiri jamaah yang berlalu lalang mencari tempat lungguh.
Baru sekitar pukul
21.00 Mbah Nun dan kiai kanjeng hadir di majlis setalah sebelumnya para
perangkat desa mengisi prosesi pembukaan. Dibuka dengan istighfar dan
shalawatan, suasana menjadi amat syahdu sekali. Aku pribadi, sangat suka dengan momen seperti ini. Seperti
ada gemuruh yang merontokkan diri yang kotor ini.
Mbah Nun menjelaskan
tentang makna jawa dan islam. Orang jawa tetaplah menjadi jawa dengan nilai –
nilai islam yang dibawa oleh Rasulullah. Bukan menjadi Arab. Kemudian
penjelasan melebar ke pada kondisi sosial saat ini. Klitih salah satunya. Mbah
Nun mengajak para jamaah untuk berdiskusi masalah ini. Beberapa jamah
memberikan komentar. Salah satu dari mereka mengatakan begini “Klitih itu
karena mereka para pemuda yang jauh dari cahaya ilahiyah. Makannya harus
disuruh ikut maiyahan,” gelak tawa menyabung.
Mbah Nun ngendiko mengenai konsep sebab akibat.
Melihat klitih dari sisi akibat. Bahwa ada yang tidak beres dan menyebabkan
terjadinya klitih. Klitih dari beberapa sumber yang pernah aku baca adalah aktivitas
seseorang di malam hari untuk mencari makanan di angkringan atau di wilayah
setempat. Namun berubah makna pada saat ini. Klitih diidentikan dengan tindakan
kriminal yang dilakukan oleh para remaja SMP atau SMA yang dilakukan di jalan.
Analisis yang dipakai Mbah Nun adalah penyebab dari tindakan kriminal tersebut.
“Tak usah meminta negara untuk ikut memberesi hal ini. Kita koreksi diri kita
dulu dalam mendidik anak,” ujar Mbah Nun.
Mendidik anak menurut
Mbah Nun adalah bergantung pada batin orangtua kepada anaknya. Karena yang
mendidik anak adalah Allah maka didorong dengan doa dan batin orangtuanya. Beliau
juga menyampaikan kondisi anak jaman sekarang yang memaksa orangtuanya untuk
membelikan sepeda motor padahal belum waktunya. Diskusi tentang klitih ditutup
Mbah Nun dengan statmen pola pendidikan anak.
Hingga tengah malam
suasana semakin gayeng saja dengan
diwarnai tingkah mas Doni dan mas Jijit saat mengajak anggota lain
memperlihatkan permainan jaman dulu. Suara gelak tawa terus membanjiri majlis
ini. Sekitar pukul 1 malam acara ditutup mbah Nun. Kami mulai mencari barisan
untuk mencium tangan sang guru. Bseperti biasa suara lantunan doa menyerbak
dari Mbah Nun setelah sebelumnya dipimpin doa oleh mas Islami.
Alhamdulillah, bisa
hadir di majlis ini.
Wirobrajan, 24 November
2017.
|