Shallu
a’lannabii Muhammad..
Allahumma
shallu a’laihh...
Beberapa lagu dilantunkan oleh grup hadroh Al Mumtaz
mengawali acara malam mujahadah dan pengajian Dzikrul Ghofilin di Pondok
Pesantren Al Mumtaz. Paginya, semaan Al Qur’an hingga malam hari dan
dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh Bapak K.H. Henri Sutopo, pengasuh
pondok pesantren Krapyak. Acara ini sekaligus Walimatussafar (pamitan haji)
Abah Khoiron dan Ibu Zudiati Ulfa, pengasuh pondok pesantren Al Mumtaz. Malam
itu, rintik hujan sudah menampakkan kehadirannya sejak acara dimulai. Bak
racikan bumbu yang semakin menambah kesyahduan majlis shalawat. Warga dan para
santri putra dan putri telah menempati tika-tikar yang tertata rapi di sekitar
panggung. Begitupun saya, bersama dengan teman-teman saya menempati posisi kiri
depan panggung. Pilihan strategis untuk merekam atau sekedar mengambil gambar.
Sekitar pukul 21.00 mujahadah dimulai. Air langit
turun dengan deras memberi ‘berkah’ pada jamaah yang hadir. Mereka yang tidak dalam
posisi atap terlindungi mencari tempat untuk berteduh. Beruntungnya kami dalam
posisi aman. Namun tidak dengan alas kami. Air mulai merembas masuk ke dalam
celah-celah tikar. Kaki kami mulai terasa basah. Tapi nyatanya hal tersebut
tidak membuat niat mencari ilmu kami luntur. Begitu juga para jamaah dan
santri. Dalam sambutannya Abah Khoiron berkata bahwa setiap Pondok Pesantren Al
Mumtaz mengadakan pengajian, hujan turut serta bersama kami.
“Dan
itulah yang menjadi berkah dan rejeki bagi kita semua,” tambah Abah.
Malam semakin merangkak. Acara dilanjutkan dengan tausiyah
oleh Bapak K.H. Sukron Jazilan dari Surabaya. Beliau menyampaikan bahwa
sebaik-baik orang pasti buruknya dan seburuk-buruk orang pasti ada baiknya.
“seapik-apike
wong pasti ono elee lan sa ele-elee wong yo ono apike. Iku jenenge menuso,”
begitulah dalam bahasa jawa.
Satu hal lagi yang masih tertinggal di benak saya
ketika beliau menyampaikan bahwa hidup itu tidak seharusnya saling merendahkan.
“urip
iku ojo merendahkan orang lain. Barangkali dia itu adalah kekasih Allah. Ciri
dari kekasih Allah itu rahasia,” pungkasnya.
Hal sederhana yang mungkin biasa kita lakukan, pun
saya sendiri. Saya teringat salah satu sohabat Rasullah, kalau tidak salah
sohabat Ali. Beliau menjelaskan bagaimana ‘semestinya’ kita memandang orang
lain. Meletakkan diri pada posisi yang paling buruk karena kita mengetahui
keburukan sifat kita. Serta mengingat selalu kebaikan orang lain. Hal ini
mugkin sepele hanya berkisar pada tatanan pola pikir. Tapi dari sinilah awal
kita bersikap dan berperilaku dalam menghadapi orang lain.
Dua hari yang singkat ini menampakkan berbagai hal
sudut pandang. Berkali-kali saya melihat santri putra, kira-kira anak-anak MTs,
berpencar ke setiap sudut tempat pengajian untuk sekedar mengumpulkan sampah ke
kantong plastik yang mereka bawa masing-masing. Saya yakin mereka tidak sedang
kerja bakti seperti yang biasa mereka lakukan setiap pagi. Karena mereka
menggunakan baju putih dan sarung untuk sengaja mengikuti acara. Ada desiran
rasa syukur melihat mereka yang terdidik untuk berlaku bersih dan menjaga
lingkungannya. Kendati usia mereka masih sangat muda.
Tak hanya itu, kerja keras para santri yang dewasa
sangat terlihat ketika hujan ‘menebar’ berkah. Ada yang mengantar para kyai dan
pengasuh pesantren dengan tangan memanjang keatas memegang payung sedangkan
mereka sendiri basah kuyup. Membagikan nasi untuk para jamaah dengan berjuang
melawan genangan air serta tanah yang berubah menjadi seperti lumpur. Tapi tak
ada guratan mengeluh yang terlihat di mata mereka. Hujan benar-benar menjadi
barokah kala itu.
Esoknya, Ahad 14 agustus 2016 hujan memberi tempat
untuk bulan dan langit yang terang. Semaan Al-Qur’an berjalan dengan khidmat.
Para hafidz yang berasal dari jawa timur ini semoga menambah semangat para
santri untuk istiqomah mengikuti jejak beliau. Acara ini hingga larut malam.
Dua hari yang berkesan semoga menambah iman serta
semangat membuka keridhoan Allah. Aamiin.