Jumat siang ini terasa sangat panas. Perjalanan dari
Gunungkidul menuju Piyungan cukup ramai. Saya melihat Bus jogja-wonosari yang
juga menuju turun ke bawah berada di barisan depan motor yang saya kendarai. Soal
Bus, saya jadi teringat suatu peristiwa. Dulu, ketika saya tinggal di pondok cabang
di Jalan Ring Road Timur Banguntapan, saat itu hari jum’at sekitar jam 11 siang
saya bersama adik saya menuju pondok pusat di Gunungkidul dengan menaiki Bus. Keadaan di dalamnya sangat ramai.
Dari anak sekolah hingga pedagang yang hendak kembali ke ataspun ada. Terik
matahari sangat menyengat, bus melaju dengan kencang. Mendekati lampu merah terakhir menuju ke atas, tepatnnya
di daerah Piyungan, Bus tiba-tiba berhenti, mesin dimatikan. Supir dan
kernetnya keluar dari Bus. Penumpang gundah, karena banyak dari mereka yang
mengejar waktu sampai tujuan. Udara panas masuk ke dalam Bus menambah keresahan
para penumpang. Dari perbincangan mereka, usut punya usut, ternyata kernet dan
supir Bus, melaksanakan Shalat Jum’at di Masjid sekitar daerah tersebut.
Subhanallah mereka masih menjaga keistiqomahan
Shalat Jum’at. Kemudian terlontar begitu saja dalam pikiran saya. Kenapa ndak
ngajak penumpangnya sekalian pak, kan banyak tuh yang bapak-bapak? Hanya berpikir
positif, mungkin malah takut diminta tancap gas lagi.
Hal seperti ini pernah saya alami di tempat asal
saya, Cirebon. Waktu itu saya masih duduk di kelas XI MA, kalau tidak salah. Setiap
hari jumat, saya mempunyai aktivitas rutin untuk pergi ke kota. Karena saya
tinggal di ujung barat Cirebon, perbatasan dengan kabupaten lain. Tujuannya untuk
mengedit dan menyetorkan hasil berita yang saya dapatkan selama semingu ke salah satu koran swasta
dimana saya magang. Sebenarnya saya berangkat dari rumah seperti biasa jam 10
pagi, hanya saja angkatan umum yang biasa saya gunakan tak kunjung datang. Sekali
datang, kondisi Bus mini (saya biasa menyebutnya bus Elep) sangat
memprihatinkan. Terlintas dalam pikiran saya, wah pasti bakal lama sampai
tujuan ini. Karena prediksi kecepatan Bus bisa dilihat dari kondisi fisik Bus,
analisa saya bagitu. Belum setengah dari perjalanan saya, isi Bus mulai berkurang. Menyisakan saya
dengan seorang remaja perempuan. Bus berhenti tepat di seberang jalan masjid. Kami
hanya saling menatap bingun, karena tak ada calon penumpang di luar yang memberhentikan
bus.
“Maaf mbak sampai sini saja, silahkan cari bus lain.
Saya mau jumatan dulu,” ucap bapak supir santun.
Kamipun
terpaksa turun. Ketika saya akan memberikan ongkos Bus, supir itu menolak
dengan halus.
“Ndak usah mbak, buat ongkos Bus yang lain saja,”
ucapnya.
Ya
memang benar jika saya menggunakan Bus lain, akan terkena ongkos double. Kecuali
jika menggunakan sistem oper dari supir.
Sungguh
pengalaman tersebut membuat saya memahami akan keistiqomahan seseorang. Dalam kondisi
apapun, seharusnya tidak menggoyahkan apa yang sudah menjadi ‘kebutuhan’
seorang muslim. Semoga kita semua bisa menjaga keistiqomahan tersebut hingga
dipetemukan dengan sang Khaliq.