Sebagian icon difabel
Berikut ini saya tulis,
kisah yang saya alami sendiri. Saya kira, pantas untuk kita renungkan.
Scene 1
Peringatan Hari Tongkat
Putih (White Cane Safety Day) yang
dilakukan pusat Layanan Difabel (PLD) 14 Oktober lalu memberi kesempatan bagi
saya untuk mencicipi hidup dalam kegelapan. Berjalan dengan mata tertutup dari
Gedung PAU yang berada di kampus barat menuju PLD di kampus timur. Rasa kaget dengan dunia
tanpa cahaya. Khawatir menabrak, terjatuh atau nyasar ke tempat yang berbahaya.
Saya difabel netra.
Scene 2
Menunggu pergantian jam
perkuliahan membawa saya memilih berkunjung ke PLD. Awalnya saya menyapa salah
satu teman Tuli saya. Menanyakan perkuliahan dan aktifitas kampus dengan
sedikit bahasa isyarat yang saya bisa. Beberapa waktu kemudian, datanglah satu
demi satu teman-teman Tuli lainnya. Gerakan tangan mereka sangat cepat dan
disertai dengan ekspresi muka yang memperjelas maksud percakapan. Tapi saya tak
mampu memahami bahasa mereka. Bekal bahasa isyarat saya sangat minim. Wal hasil
saya pun menjadi penonton setia dari percakapan bahasa isyarat yang terjadi di
depan saya. Saya Tuli.
Scene 3
Saat itu lutut kaki
kiri saya tak sengaja terbentur meja. Awalnya hanya nyeri akibat benturan. Tapi
malamnya, mulai terasa membengkak. Ketika menjelang shubuh, saya merasakan kaki
saya tak bisa ditekuk. Akhirnya shalatpun saya jalani dengan duduk selonjor. Resikonya, saya maenjadi pusat
perhatian anak-anak di pesantren. Untuk berjalan pun menjadi semakin sulit. Ditambah
lagi saya harus naik turun tangga menuju masjid milik pesantren. Aktifitas lainpun
sama. Saya harus menahan nyeri dan menjaga agar kaki kiri saya tetap dalam
keadaan tegak. Sekitar 3 hari, saya merasakan sulitnya mobilitas. Disitu, saya
difabel daksa.
Difabel bisa terjadi
pada siapa saja. Karena itu sebuah keniscayaan bahwa pada akhirnya kita akan mengalami
manjadi difabel. So, keep care to others
!
Yogyakarta,
03 Desember 2016