Photo : by Tilikana.com |
Bagi
orang yang tak mengenal Cirebon,
menyangka bahasa yang digunakan di Cirebon adalah bahasa sunda. Memang ada
beberapa wilayah Cirebon yang memakai bahasa sunda. Tapi untuk daerah sekitar
kabupaten hingga daerah saya di ujung barat Cirebon (Ciwaringin), memakai bahasa
jawa. Anehnya, ketika saya memasuki daerah Majalengka
yang berada di perbatasan Cirebon tersebut, bahasa yang digunakan
campuran. Sebagian menggunakan bahasa sunda dan sebagian bahasa jawa Cirebon.
Ini lebih terkontaminasi bahasa Cirebon.
Tapi
di sekolah Aliyah saya dulu, MAN Model Ciwaringin (sekarang MAN 2 Cirebon),
mayoritas adalah orang sunda. Karena itu saya belajar bahasa sunda dari mereka
dan selalu memakai bahasa indonesia untuk berkomunikasi. Menginjak kelas 2 SMA,
dalam diskusi saya merespon beberapa kalimat dengan bahasa khas Cirebon. Teman
saya kaget dan mengatakan “Loh kok kamu bisa bahasa jawa?” Loh saya asli sini kok. Ah memang ya menjadi
minoritas di rumah sendiri itu tidak enak . hiks.
Di
Jogja tidak sedikit teman-teman yang asli sunda dari berbagai daerah. Ini membuat
saya lebih akrab karena sesekali bisa “otomatis nyambung” ketika mereka
berbicara dalam bahasa sunda. Walaupun bahasa sunda saya masih sekacau bahasa
jawa jogja. Duh. Ini juga yang membuat beberapa orang memanggil saya dengan
sebutan “teteh” sebutan sunda kepada perempuan. Ungkapan yang sama seperti “mbak”
di Jogja.
Bahasa
jawa yang disinggung teman saya diatas berbeda dengan bahasa jawa Jogja. Jauh
berbeda ! Ketika saya mengatakan asal daerah saya, seseorang mengatakan begini,
“Wah Cirebon bahasanya kacau,”. (Jleb banget. Sampai ke jantung)
Terlepas
dari hal itu, Cirebon memang memiliki bahasa tersendiri. Bahasa ini lebih
dikenal dengan sebutan “basa Cirebon”. Menurut ketua Lembaga Basa lan Sastra
Cirebon, Nurdin M. Noer “bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan
Sunda. Kosa kata bahasa Cirebon juga terus berkembang tidak hanya ‘mengandalkan’
bahasa jawa maupun sunda”
Dari
sini sudah terlihat bahwa basa Cirebon tidak bisa disamakan dengan bahasa jawa
Jogja apalagi sunda. Karena itu saya yang hidup dilingkungan orang-orang asli
Jogja dan sekitar jawa tengah harus mengimbangi mereka.
Pertama
kali menginjak bumi Jogja untuk melanjutkan
sekolah, bahasa jogja menjadi bahasa asing yang kembali menyapa telinga
saya. Sungguh begitu sulitnya memahami bahasa
Jogja. Sering kali saya terlibat percakapan dengan teman-teman
menggunakan bahasa jawa. Saat itu pula saya selalu meminta penjelasan apa yang
dibicarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jawaban pengantarnya adalah, “ribet
ya ngomong sama kamu. Harus nerjemahin dulu ke bahasa Indonesia,” (seyum sambil memberi tanda, harap maklum)
Ini
juga terjadi ketika saya mengikuti pengajian rutin di pondok. Sang penceramah
menggunakan bahasa kromo jogja yang sama sekali tidak bisa saya tangkap
intinya.
Disini saya merasa menjadi Tuli. Terlebih ketika dalam majlis tersebut berjamaah tertawa atas “guyonan” sebagai selingan dalam pengajian. Saya hanya tengok kanan kiri sambil senyum. Meskipun yang berada di dekat saya, paham betul bahwa saya sama tidak mengerti. Duh.
Disini saya merasa menjadi Tuli. Terlebih ketika dalam majlis tersebut berjamaah tertawa atas “guyonan” sebagai selingan dalam pengajian. Saya hanya tengok kanan kiri sambil senyum. Meskipun yang berada di dekat saya, paham betul bahwa saya sama tidak mengerti. Duh.
Bahasa
jawa ngoko yang digunakan untuk komunikasi dengan teman berbeda dengan bahasa
kromo untuk komunikasi dengan orang lebih tua atau “disepuhkan”. Setiap kali
saya menghadap dengan sesepuh itu, pengantarnya pasti menggunakan bahasa kromo
dan “endingnya” menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, “Nggeh ngapunten kulo
mboten saged nderek pengaosan. Karena saya.........”
Sama
halnya ketika saya akan mengirim pesan untuk orang yang disepuhkan, bertanya
dan mengecek ulang susunan kata agar tidak keliru adalah kunci kebenarannya. Sering
kali saya ditegur langsung karena pengucapan yang tidak tepat. Ini juga terjadi
ketika saya hidup di lingkungan berbahasa sunda dulu. Tidak mudah memang menyesuaikan diri dengan
budaya dan bahasa orang lain.
Tapi
sungguh saya suka berbahasa dengan banyak bahasa. Mungkin ini ada kaitannya
dengan jurusan yang saya ambil ketika Aliyah dulu, jurusa Bahasa. Ya walaupun
dalam praktiknya saya harus banyak menelan ludah karena berbagai teguran. Bagaimanapun juga pepatah lama “Dimana bumi
dipijak disitulah bumi dijunjung” memang masih manjur.
Well,
saya masih berjuang untuk membumisasikan diri di lingkungan dimana saya hidup.
Jadi jika salah dalam bahasa harap maklum ya.
Yogyakarta, 01 Maret 2017