Pitulasan bulan Oktober |
Saya
sedih terlalu sedih karena selalu terlambat untuk menuliskan setiap hal yang
seharusnya saya tulis. Barangkali bisa dikodo
akan saya lakukan. Sekalipun entah deretan huruf itu tak lagi dapat
terangkai mampesona.
Aku
masih duduk termangu di dalam majlis Mocopat Syafaat di Bantul. Sebelahku ada
teman baru, Mbak Tari. Aku baru mengenalnya hari ini. Entah ada tarikan dalam
frequensi yang sama hingga kami saling menemukan. Akhirnya, jadilah kami dalam
majlis ini.
Ini
adalah kali ketiga aku mengikuti majlis maiyah namun ke dua di majlis Mocopat
Syafaat. Bagiku yang kehilangan majlis-majlis, momen seperti ini layaknya
musafir yang menemukan oase kehidupan.
Kami
datang cukup awal. Sekalipun pelungguhan di depan sudah penuh.
Untunglah masih ada celah di tengah. Acara dimulai dengan tadarus surat
An-Nisa. Syahdu. Mungkin karena nada dari pelantun di atas panggung
membangkitkan suasana. Suarane apik. Sayang
ada kaidah membaca yang kurang pas denganku.
Shadakallahul
adzim. Berhenti di surat An-Nisa ayat 100. Dibuka oleh para pegiat Maiyah. Aku
tak mengenal mereka. Suasana baru menanjak riuh ketika Kyai Muzzamil rawuh di atas panggung. Lalu mengajak
diskusi para jamaah Maiyah.
“Kaidah
berpikir feqih (maksudnya fiqih) itu ada tiga hal. Ada sebab, syarat, dan mani.
Contohnya shalat. Sebabnya sudah masuk waktu, syaratnya ada banyak seperti
islam, baligh, berakal sehat dan sebagainya. Lalu mani adalah terhalangnya apa
yang dituju karena suatu hal. Contohnya keluar darah haid,”ungkap kyai
Muzammil.
Kemudian beliau analogikan dengan pola pikir jaman
sekarang yang terlalu saklek dalam
memandang setiap perkara. Perihal contoh-contoh ini lah yang bikin ‘ngakak’ jamaah. Setelah satu
jam berlalu, barulah Mbah Nun beserta Bu Via rawuh menyapa jamaah yang mayoritas anak muda ini. Ada sih
bapak-bapak dan ibu-ibu tapi bisa diitung dengan jari. Lebih mayoritas lagi
laki-laki muda. Perempuan seusia saya sangat sedikit. Hampir 20 % kira – kira
segitu.
Sayang, Mas Sabrang tidak ikut hadir malam ini.
Berbeda dengan pitulasan bulan
kemaren. Mas Sabrang rawuh dengan
formasi lengkap personil Letto Band. Tak apa memang. Aku tetap mampu melebur
menjadi satu dalam majlis Maiyah ini.
Nomor yang dibawakan kiai kanjeng yang pertama
adalah bang-bang wetan. Aku langsung bersorak ria. Ini salah satu lagu
favoritku. Suara bu Via yang mendayu-dayu syahdu ditambah alunan musik kiai
kanjeng yang mampu menarik diri pada irama asik. Ah pokoe asik tenan !.
Mbah Nun membuka diskusi dengan menyapa pemuda dari
Papua. Kemudian meminta mereka bergabung diatas panggung. Ya, tema hari ini
sepertinya tentang plurarisme dan keIndonesiaan. Mungkin benar, mereka adalah
kaum minoritas di tanah Yogyakarta yang kerap kali mendapat perlakuan
diskriminatif. Itu menurut pengalaman mereka. Merefleksikan diri pada
pengalaman yang saya alami. Stigma negatif tentang mereka wis kadung nempel karena ulah sebagian dari mereka yang kurang apik. Saya pernah ketakutan di tengah
jalan dengan tingkah usil seseorang. Dia
laki - laki berwajah Papua mendekati motorku dengan wajah melotot dan hampir
menyerempet motor yang ku kendarai. Dia tak memakai helm sehingga saya ingat
betul tatapan menyeramkan itu. Ternyata dia juga melakukan ha yang kepada orang
lain di depan saya. Ditambah lagi selentingan tentang mereka dalam suatu
wilayah membuat gaduh warga suatu desa di desa tersebut. Stigma ini semakin
terpojok dengan mereka yang minoritas di jogja, non muslim.
Mbah Nun memberi saran agar orangtua mereka yaitu
pemerintah Papua dan Yogyakarta seharusnya duduk bersama untuk membicarakan
banyak hal terjait para perantau ini. “Lah nek moro ning aku, aku ki udu
sopo-sopo. Aku ki podo karo sampean. Rakyat biasa,” tambah Mbah Nun.
Rasanya jika aku menuliskan semua hal yang terjadi
disana, tak mungkin selesai dalam semalam. Hehe. Ah kadang kata tak mampu
melukis rasa. Menjelang akhir sesi, sekitar jam 2 dini hari, hujan turun.
Mungkin ia juga ingin di tengah – tengah majlis ilmu ini. Kami yang ada di
dalam semakin merapatkan diri agar sedulur maiyah lain dapat ikut merapat,
berteduh.
Di sinilah, aku merasa paseduluran yang terasa
kental. Kita saling ngemong, saling
peka satu sama lain. Tempat dimana aku lungguh mulai dibanjiri air, akibat
bocor dari atap. Samping kanan ku mas-mas memberikan bekas cup kopi untuk menampung
air. Lalu dari arah belakang memberi plastik agar air tak loncat kanan kiri.
Ah. Aku merasa diemong tenan. Apa
karena sifatku yang baper? Ah tidak juga. Mbak Tari juga ngemong sedulur maiyah yang lain. Agar tidak kehujanan, tidak basah
karena air dan memastikan kita semua nyaman. Mungkin itu sedulur sing tenanan.
Yogyakarta, 20 Oktober 2017