Kelas Tahfidz |
Ada 7 peri cilik (percil)
yang datang maghrib tadi. Biasanya hanya 2 bahkan hanya sisa satu. Itu karena
rumah si percil itu pas di depan Mushala. Lainnya cukup jauh. Ke tujuh percil
masuk dalam satu kelas kereta : kelas percil iqro. Tidak semua anak dalam jilid
yang sama. Jilid tertinggi Ayu, jilid 5.
Ada satu kelas Iqro
lagi. Kajian ibu dan simbah - simbah yang semangat ngaji. Ada sekitar 5 – 7
orang. Masih tahap jilid 2. Diampu salah satu temanku.
Lalu ada satu kelas
tahzin. Ngaji membentuk lingkaran. Kemudian bergilir membaca beberapa ayat. Ada
satu percilku, Farisa, yang ikut kelas ini. Karena ia sudah menginjak
Al-Qur’an. Meski ia masih duduk di sekolah dasar. Lalu ada satu laki-laki, anak
SMP, yang ikut kelas ini. Ada sekitar 10 – 15 orang bahkan terkadang lebih. Terdiri dari remaja sekitar desa ini,
ibu bapak dan teman – teman saya.
Ketiga kelompok ini
terpisah. Saat saya mulai kelas kereta, salah satu percil bernama Ayu
menempatkan diri di posisi seperti saya. Menghadap percil – percil. Dia meminta
izin mengajari temannya yang masih tahap jilid 1.
Selesai dengan satu
orang, ia berkata “Ayo sopo meneh ngaji karo aku,” dengan lagak orang dewasa.
Salah satu temannya maju di hadapannya.
Saat saya masih
menunduk mendengarkan suara lirih percil lain, salah satu simbah datang
menghampiri. Simbah masih dalam tahap jilid satu. Berbeda sendiri dengan teman
– temannya. Kemarin juga sama. Beliau keluar dari halaqoh yang saat itu saya
ampu dan berpindah ke teman saya yang saat itu mengajar percil juga.
Saat saya masih
berurusan dengan satu percil yang belum selesai satu kaca, simbah lungguh di
samping saya. “Kene nduk, ngajari simbah,” kata beliau kepada percil yang masuk
jilid 3. Si percil hanya senyam-senyum.
“Cah pinter,” katanya
lagi usai mengecup pipi percil itu.
Klaten, 6 Agustus 2017