Waktu seperti berlari begitu cepat, tak memangdang
keadaan siapapun. Entah suka maupun duka. Aku masih berdiri di depan pintu duka
itu. Bukan untuk menyesali kepergiannmu, nek. Tapi menyesal karena tak sempat
menjengukmu. Meski begitu, aku masih beruntung sempat mencium punggung tanganmu dan meminta
doa darimu, sesampainya aku di rumah kemarin.
Hari-hari suram di rumah nenek yang bersampingan
dengan rumahku, masih aku rasakan, sangat kuat. Mengingatnya sebagai malam
duka. Ketika itu, aku masih duduk berbincang dengan tamuku, seorang ibu, wali
santri dari pondok dimana aku tinggal sekarang. Salah satu sepupu perempuanku
datang, membuka pintu. Tergesa-gesa memberi kabar duka itu. Kaget, pasti. Tapi
saat itu hatiku berdesir.
“Nenek
sekarang sudah tenang ya, sudah bahagia,”
Tak ada air mata karena sibuk menyiapkan kedatangan
nenek dari rumah sakit. Nenek punya banyak cucu, semuanya ikut membantu
menyiapkan keperluan nenek. Dari memandikan sampai mengkafani. Nenek akan
dishalatkan dan dikuburkan besok pagi. Rumah itu ramai dengan para tetangga
yang juga sibuk membantu kami. Saat mengkafani, melihat orang yang sangat dekat
dengan kita, terbujur kaku, saat terakhir memandang wajah tenang itu, sangat
menyedihkan. Pamanku, si bungsu nenek, keluar dari kamar, menyaksikan wajah
nenek yang akan ditutup kain kafan, paman mendekat dan mencium wajah lembut
itu. Tak ada yang bisa menahan tangis melihat momen tersebut. Aku dan semua
cucu nenek yang mengelilingi ruangan itu, berusaha menahan air mata sekuat
tenaga.
“Jangan
menangis ! Boleh menangis, tapi jangan disini,”
Suara seorang ibu yang membantu mengkafani nenek,
seperti komando untuk segera menghapus air mata dan beralih mendoakan nenek.
Karena tak ada yang bersedia kehilangan kesempatan untuk menatap wajah tenang
nenek.
Paginya prosesi menyolati dan mengkuburkan nenek
berjalan dengan lancar. Kakek terus bercerita kepada saudara jauh yang datang
melayad. Katanya, nenek beruntung pergi saat semua cucunya berkumpul di rumah.
Dishalati sampai tiga kali rombongan. Yang pertama dari pihak keluarga, kedua
dari para pemuda setempat, yang terakhir oleh rombongan Kyai pondok dimana
pamanku mengabdi.
Prosesi pemakaman diakhiri dengan tahlil oleh
keluarga besarku. Aku beserta beberapa cucu nenek mengantar ke peristirahatan
terakhir. Semuanya berusaha tegar di hadapan nenek.
Banyak orang yang datang melayad ke rumah nenek,
bertemu salam sapa dan sesekali menceritakan kronologi detik terakhir kepergian
nenek. Mereka bilang, nenek sudah pulang. Bukankah konotasi ‘pulang’ adalah
bahagia, karena kembali dengan orang-orang terkasih?
Kali
pertamanya aku merasakan kepergian seseorang terkasih.
Semoga
Allah menempatkan nenek di sisi Allah yang Maha Agung.