Pagi di ruang PLD, tiga
mahasiswa Tuli sedang asyik berkomunikasi. Aku menyela sebentar. Meletakkan jari telunjuk dan jempol yang disatukan.
Kemudian diletakkan dekat bibir. Gerakan itu berbunyi “Maaf”. Ini adalah etika
ketika menyela perbincangan saat terjadi komunikasi dengan teman-teman Tuli.
Aku menatap salah satu
dari mereka.
“Kamu bawa leptop?
Boleh saya pinjam sebentar?”
Kataku dalam bahasa
isyarat yang diikuti juga dengan gerak bibir mengucapkan kata-kata itu. Cukup
pelan.
“Untuk apa?” katanya.
Ia mampu berbicara. Hanya saja suaranya ‘gambyang’. Tidak jelas.
“Untuk ngedit tugas sebentar.
Komputer di sana lagi dipake,” kataku dengan sedikit gerakan isyarat
memperjelas ucapan.
Ia mengangguk lalu
mengeluarkan Laptop dari tasnya. Di samping kirinya, mahasiswa Tuli juga,
menyapaku dan bertanya apa yang barusan aku bicarakan. Aku teringat mahasiswa
Tuli lain yang setiap kali aku bertanya “Lagi ngapain?” “Ngerjain tugas apa?” “Itu
buku isinya tentang apa?” Dia dengan sigap membentuk huruf K dengan satu jari
lalu diletakkan di jidat. “Kepo” itu bunyinya. Gerakan itu juga diikuti dengan
mimik bernada cuek. Duh.
Itulah yang kemudian
aku lakukan untuk menjawab pertanyaan dari si dia. Tapi dengan nada bercanda.
“Eh kita itu Tuli. Jadi
wajar kalau kita itu kepo. Beda dengan kamu orang dengar,”
Ia ucapkan dengan
kalimat yang begitu cepat. Suara keras yang biasa ia ucapkan membuatku memahami
langsung meski tak diikuti gerakan penjelas. Ia hanya meletakkan kelingkingnya
di dekat telinga dengan bermaksud mengatakan Tuli. Dia menjelaskan sembari
tersenyum. Tanda mengajakku untuk memahami karakteristik yang melekat pada diri
mereka.
Yogyakarta
Jum'at, 5 Mei 2017