Ada banyak hal yang
kadang tak bisa dirajut dengan kata, disemat dengan pita atau diurai dengan air.
Seperti kala itu. Aku butuh memberi jarak agar mampu menoreh bait – baik rasa
syukur ini.
Tanggal 17 malam setiap
bulan selalu ada majlis ilmu sinau bareng mbah Nun dan Kiai kanjeng beserta
seperangkat atributnya seperti Mas Sabrang dll. Ini kegiatannya malam hingga
dini hari. Jangan bertanya bagaimana proses bernegosiasiku dengan diri sendiri.
Puanjaaang poll. Barang kali ajian ini mustajab “Niat apik Allah qobul” wes ngono thok.
Malem itu, dibumbui
doa, aku beserta kawanku lungguh di depan
panggung. Jauh amat jauh dari panggung. Kami hanya menyaksikan melalui
layar yang terbentang di tengah kerumunan manusia. Sesekali ku longok melalui
celah pagar wajah teduh mbah Nun beserta dzuriyahnya. Barang kali dengan
begitu, ilmu beliau bisa tetap terngiyang dan terpatri dalam diri. Lalu menjadi
rem dan gas dalam bertindak.
Mas Sabrang memulai dengan asumsi-asumsinya yang
membangun. Seperti tentang bias dalam diri. “Ono maling lewat tak antemi watu.
Dimana letak biasnya?”
Jamaah Maiyah mulai
bersorak melempar jawaban. “Watune cilik opo gede? Jarak e sepiro?” dan
celotehan lain yang membuat suasana semakin riuh,
“Bias informasi selalu
ada. Maka berhati – hatilah dengan informasi yang kau terima.” sebersit pesan
yang mas Sabrang sampaikan.
Malam itu terasa dingin
yang berbeda. Syahdu. Barang kali kata itu yang mampu mendeskripsikan rasaku.
Sekelilingku mulai mengurai barisan. Barang kali banyak kesibukan esok hingga
tak mungkin merampungkan majlis ilmu.
Di tengah acara, mbah
Nun memberi uraian terkait esensi musik. Bahwa pada dasarnya hidup ini adalah
rangkaian musik. Setiap hal selalu megandung musikalisasi. “Ngentut juga ada
musiknya. Kodok itu juga ada musiknya. Jadi kalau ada yang melarang bermusik
pindahlah di tempat yang tidak ada musiknya. Padahal alam semesta ini dipenuhi
dengan musik,” papar Mbah Nun.
Saat waktu mejemput,
aku merasakan kesyahduan yang amat terasa. Mbah Nun mengjak seluruh jamaah
berdiri untuk melantunkan doa – doa. Angin membelaiku lembut. Membisikkan
kerinduan pada yang Maha. Semoga dapat selalu lungguh di majlis ini.
-----
Judul dari tulisan ini,
Maiyahan : Ngijoli lek kagol wingi. Barang kali Allah benar – benar berbaik
hati memberi ruang dan waktu untukku.
Semuanya terkonsep dengan indah. Ini “ngijoli” menggantikan 2 majlis yang ingin
sekali aku duduk di dalamnya. Sayang, waktu tak mnegijinkan. Mungkin kali ini
Allah baru mengabulkan ayuhan doa sepedaku.
Yogyakarta, 26 September 2017