Rumput Liar

Minggu, 05 November 2017

Maiyahan ke 4: Menciptakan diri

Suasana menginjak tengah malam, yang di depan geser. Yang belakang ke depan. hehe


Kamis, 02 November 2017 Pukul 19.00 Aku masih menikmati makan malam sambil diskusi mengenai Rencana Program Kerja (RPK) tugas kuliah. Padahal mbak Tari  (teman Maiyahan) sudah menunggu di kediamannya, Pandes. Aku mulai gelisah, antara budal atau stay at home. Ingin sekali membaca pesan mbak Tari, “Ya udah kalau emang masih lama rapatnya, ngga usah berangkat. Aku ngga apa2 berangkat sendirian,” tapi nyatanya, tidak . Sudah kadung janji, ya sudah berangkat. Kurang lebih pukul 19.30 aku sampai  di rumah yang ku tempati. Ambil jaket, charger Hp lalu cuss ke Pandes.

Suasana sudah sangat ramai. Mbah Nun sudah munggah ke panggung. Rasanya beda. Tentu saja beda. Ini adalah majlis masyarakat desa. Mbah Nun diminta mengisi acara dalam rangka perayaan hari jadi desa Guwosari Pajangan, Bantul. Acaranya di Balai desa. Mbah-mbah bersama anak dan cucunya sudah duduk manis digaris depan. Sebelah kiri duduk rapi para pemuda berkopyah Maiyah. Aku berbisik pada mbak Tari mengenai suasana ngaji yang amat sangat jauh berbeda dengan suasana di majlis Mocopat Syafaat atau majlis Maiyah lainnya. “Ya jelas beda. Ini kan majlisnya masyarakat desa. Yang datang kesini bukan semuanya orang Maiyah. Jadi berbeda dengan keadaan Mocopat Syafaat. Mereka sudah rutin dan tau harus bagaimana berlaku,” ucapnya.

Mbah Nun menerangkan berbagai konsep mengenai kerukunan, agama, politik dan lain sebagainya. Tak lupa juga mbah Nun menyampaikan mengenai majlis ini. Majlis ini adalah majlis mencari kebenaran. Bukan pembenaran “Jangan mengandalkan kebenaran tapi kita harus mengandalkan kebijakan,” papar Mbah Nun.

Ada banyak hal yang dipaparkan Mbah Nun. Kyai Muzammil juga turut serta menyampaikan keluasan ilmunya pada saat tanya jawab berlangsung. Ya momen itu semakin terlihat ke-maiyahannya saat menjelang tengah malam. Diskusi tentang makna Mujasima, Syahid dan pembahasan menganai mendidik anak. Dua dari pemabahasan disitu cukup berat. Berat untuk menuliskannya disini. Maklum lah, ilmuku iseh kelas teri. Mbok menowo nek tak jelaske keliru. hehe

Berbicara tentang mendidik anak tidak bisa terlepas dari dunia pendidikan. Hal ini juga termasuk kedalam bab-bab keresahan hatiku. Pendidikan sejatinya ada di tangan kedua orangtuanya. Karena merekalah yang menjadi role model nyata bagi anak – anaknya. Itu sih hanya hasil analisaku. Mungkin akan menjadi salah satu tulisanku di masa yang akan datang. Kapan, Far? Entahlah.

Si penanya memulai diskusi dengan mengungkit statmen Mas Sabrang mengenai kesalah pahaman  pendidikan di Indonesia. Bahwa pendidikan pada saat ini hanya menjadikan anak sebagai perpustakaan bukan belajar berpikir. Kemudian bertanya jalan  keluar dari masalah tersebut. Beliau seorang bapak dari dua orang anak. Mbah Nun menjawab bahwa sesuatunya tergantung kecondongan hatimu. “Yang penting hatimu, batinmu bagaimana dengan anakmu. Jangan lupa bahwa yang mendidik anakmu adalah Allah itu sendiri. Allamal insaana maa’lam ya’lam” kata Mbah Nun.

Disusul penjelasan dari Kyai Muzammil mengenai ilmu pengetahuan. Beliau ngendiko bahwa ada 2 jenis ilmu pengetahuan. Pertama ilmu fardu ‘ain yaitu ilmu mengenai hal -  hal yang sekarang dijalani. Contohnya ilmu menjadi anak ya haris tau menjadi anak itu seperti apa. Kedua ilmu fardu kifayah yaitu ilmu yang tidak semua orang harus tau. “Ini bergantung pada bakat masing – masing setiap orang,” ungkap Kyai Muzammil.

Mbah Nun juga menyampaikan tentang makna dari surat apa ya, aku lali. Intinya, mengingat Tuhan dalam keadaan apapun. Baik itu pada waktu duduk, berdiri ataupun berbaring. Hal ini juga diselaraskan dengan bagaimana “menciptakan dirimu sendiri dalam keadaan apapun”. Aku menengok rumah pemahamanku bahwa hal tersebut berkaitan dengan “memposisikan diri” ataupun menggali fokus. Misalnya, Aku susah menulis kalau dalam keadaan ramai atau bersama teman-temaku. Bawaannya pengen ngobrol, hehe. Nah ini berarti Aku belum bisa menerapkan konsep “menciptakan diri”. Padahal orang zaman baheula tidak tergoyahan karena situasi dan kondisi apapun.

Mbah Nun juga menyampaikan bahwa orang itu harus tekun. Beliau menceritakan bagaimana aktifitas menulisnya. Berbicara tentang skenario film Rayya, Cahaya di atas Cahaya, yang ditulisnya di atas pesawat menggunakan hanphone. Duh, jadi malu. Aku masih bergantung pada mood. Parah !
Malam itu juga ada sesi dimana para remaja masjid untuk turut bersholawatan di atas panggung. Syahdu sekali. Diakhir sesi mas Doni dan temannya menghibur para jamaah dengan dialog ora nggenah tapi gayeng tenan. Serru dan gokil abis !


Acara selesai jam 1 dini hari. Lalu dilanjutkan doa bersama dan kami berkesempatan untuk menyalami mbah Nun beserta para pengisi acara. Alhamdulillah ala kulli hal.

Embakku pendekar. Ini foto diambil sore sebelum berangkat Maiyahan di kantor Rifka Annisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar